Jakarta: Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai fenomena pasangan calon (paslon) tunggal pada Pilkada 2018 luar biasa. Fenomena ini sejatinya tak sehat buat demokrasi.
"Apakah ini sesuatu yang baik? Tentu saja tidak. Robert A Dahl (ilmuwan politik) pernah mengatakan kompetisi dan kontestasi itu salah satu elemen demokrasi," kata Haris di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 2 Juli 2018.
Kompetisi dan kontestasi merupakan poin penting yang harus dimiliki sistem demokrasi. Sistem demokrasi tak akan ada tanpa keduanya.
Baca: Tiga Faktor Penyebab Meningkatnya Fenomena Paslon Tunggal
Peningkatan fenomena paslon tunggal terjadi karena tiga hal. Aturan pencalonan yang kian ketat, mahar politik yang mahal, dan kegagalan kaderisasi partai politik.
"Tidak ada kesempatan bagi tokoh yang layak dan dianggap mampu dalam pilkada untuk bersaing," kata Haris.
Sebanyak 16 dari 171 daerah peserta pilkada hanya diikuti satu paslon. Angka tersebut naik dari pilkada serentak sebelumnya, sebanyak 9 paslon. Pada Pilkada Serentak 2015, jumlah paslon tunggal jauh lebih sedikit, sebanyak tiga paslon.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((OJE))