ilustrasi/Media Indonesia
ilustrasi/Media Indonesia (Syah Sabur)

Syah Sabur

Jurnalis Senior Medcom.id

Semua Demi Clickbait

Syah Sabur • 02 November 2020 06:00
SEBUAH berita dengan segera memaksa mata untuk membacanya disertai perasaan duka yang mendalam. “Seorang wanita berinisial FS ditemukan tewas di dekat kandang buaya, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur”. Yang lebih menyentak, berita tersebut dilengkapi foto wajah korban yang memang cantik.
 
Sempat terpikir bahwa mungkin editor lupa atau lalai karena nama korban ditulis inisialnnya tapi wajahnya ditampilkan sejelas-jelasnya. Saya pun berharap, kekeliruan itu akan segera dikoreksi, baik oleh editor yang bersangkutan maupun editor lain yang kebetulan membacanya. Tapi pikiran itu hilang karena berhari-hari kemudian foto korban masih disertakan dalam update berita di sejumlah media online.
 
Bahkan, belakangan kasusnya makin jelas ditulis. Wanita asal Pulau Jawa yang bekerja freelance di sebuah kafe di Berau itu merupakan korban pembunuhan. Wanita yang sudah bersuami dan memiliki bayi sembilan bulan itu dibunuh tamu kafe setelah keduanya melakukan “hubungan terlarang”.
 
Ada pula media yang menulis inisial nama pelaku tapi memasang foto wajahnya. Sebaliknya, media tersebut malah menulis nama korban secara lengkap walaupun tidak menampilkan foto wajahnya. Tampaknya editor di media online tersebut sama sekali tidak memperhitungkan atau tidak peduli dampak suatu berita terhadap orang-orang dekat korban. Mereka sepertinya hanya berpikir bagaimana membuat berita agar menarik sebanyak mungkin viewer.
 
Itu hanya salah satu contoh tentang media yang makin mengabaikan kode etik. Sebelumnya, ada juga kasus serupa, berita tentang pasangan yang tertangkap basah sedang bermesraan di kamar di hotel kelas melati. Keduanya mengaku sebagai tante dan keponakan yang kemudian terbukti hanya klaim akal-akalan untuk menghindari jerat hukum.

Mereka sepertinya hanya berpikir bagaimana membuat berita agar menarik sebanyak mungkinviewer

Sebagian media memang menulis inisial nama kedua orang tersebut (bukan nama lengkap) tapi wajah keduanya ditampilkan di sejumlah media online. Dengan kasus ini, lagi-lagi media mempermalukan banyak pihak: kedua pelaku asusila, orang tua mereka maupun kakak-adik dan keluarga besar mereka.
 
Padahal kasusnya hanya tergolong tindak pidana ringan (tipiring). Mereka bukan koruptor atau bandar narkoba yang merugikan banyak pihak. Tapi begitu banyak orang yang harus menanggung akibatnya.

Kode etik jurnalistik

Sebenarnya wartawan Indonesia memiliki kode etik jurnalistik yang mengatur tindakan wartawan saat bertugas (does and don’t). Pasal 5 kode etik secara jelas menyebutkan, “Wartawan saat bertugas tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.
 
Lalu dalam bagian penafsiran juga dijelaskan, “Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.” Artinya, identitas itu bisa berupa foto wajah, alamat rumah, nama sekolah, nama kantor atau nama orang tuanya.
 
Bisa jadi editor menampilkan wajah FS karena menganggap dia adalah korban pembunuhan, bukan korban kejahatan asusila. Padahal, sesuai dengan keterangan polisi, wanita tersebut korban pembunuhan yang sebelumnya melakukan perbuatan asusila bersama tersangka pelaku pembunuhan.
 
Kalaupun perbuatan asusila tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka, editor seharusnya tidak berpatokan hanya pada apa yang tertulis di kode etik melainkan harus jauh melampauinya. Artinya, seharusnya editor mempertimbangkan perasaan orang-orang dekat korban.
 
Editor lagi-lagi mengabaikan perasaan suaminya, ayah-ibunya atau mungkin kakak-adiknya dan juga keluarga besar almarhumah. Mereka harus menerima dua cobaan sekaligus: berduka akibat orang kesayangan mereka jadi korban pembunuhan sekaligus dipermalukan karena korban diduga kuat melakukan perbuatan asusila sebelum meregang nyawa.

Seharusnya editor mempertimbangkan perasaan orang-orang dekat korban

Karena itulah, kode etik Society of Profesional Journalist (asosiasi wartawan di Amerika Serikat) lebih jauh menyatakan agar wartawan menunjukkan kepedulian kepada mereka yang mungkin terpengaruh oleh liputan berita. Menggunakan kepekaan yang meningkat saat berhadapan dengan remaja, korban kejahatan seksual. Apalagi korban yang sudah tidak bernyawa tidak mungkin lagi membela diri dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
 
Ada lagi yang harus dipikirkan secara matang oleh wartawan yang bekerja di era digital ini. Setiap jejak digital dari suatu berita akan bisa diakses sampai kapan pun oleh siapa pun. Bisa dibayangkan suatu saat anak FS melihat foto ibunya yang meninggal dengan cara sangat mengenaskan. Tentu trauma anak tersebut sangat sulit dihilangkan.
 
Persaingan ketat antarmedia online mendorong mereka untuk membuat judul berita yang menggoda pembaca yang biasanya menggunakan bahasa provokatif untuk menarik perhatian yang dikenal dengan sebutan clickbait. Menurut S Pegnante, dalam buku Measuring Emotional Arousal in Clickbait: Eye-Tracking Approach (2016), umumnya judul artikel clickbait fokus pada subjek selebritis, rumor atau akun fiktif, bukan isu-isu yang serius yang lebih akademik.

Demi clickbait

Tentu saja, demi mengejar clikcbait, editor tidak hanya memikirkan judul berita, melainkan lebih jauh berdampak pada pilihan topik atau kasus, angle, hingga pilihan sosok yang menjadi berita. Pilihan foto FS di awal tulisan ini tentu merupakan dampak dari kebijakan clickbait ini. Sebab, semakin banyak orang mengklik (membaca) suatu berita di satu situs, berarti makin banyak pula peluang iklan yang masuk.
 
Itulah sebabnya mengapa beberapa waktu lalu misalnya, kasus Lucinta Luna alias LL alias Muhamad Fatah yang terjerat kasus narkoba sempat mendominasi laman sejumlah media online. Bahkan, satu televisi berita menempatkan beritanya di prime time, ketika jumlah pemirsa mencapai puncaknya. Beritanya pun nyaris mengalahkan berita korona. Padahal, prestasi LL di dunia keartisan nyaris tidak ada.
 
Selain itu, kasusnya pun sangat receh. Menurut polisi, barang bukti yang ditemukan berupa dua butir pil ekstasi di dalam tempat sampah, lima butir pil riklona, dan tujuh butir tramadol. Tapi ada media memberi label eksklusif untuk wawancaranya dengan selebriti dadakan tersebut.

Ketika media sudah menjadikanclickbaitsebagai pedoman, lama-lama apa pun boleh dilakukan. Selamat tinggalnews values

Begitu pula ketika ada artis (yang juga tidak jelas prestasinya) terjerat kasus prostitusi online beberapa waktu lalu. Hampir semua media online menjadikannya berita utama. Mereka membuat laporan lengkap tentang kronologi penggerebekan, identitas pria yang melakukan transaksi, hubungan artis dengan orang tuanya, hingga ke tarif kencan sejumlah artis.
 
Apa yang membuat cerita-cerita itu penting secara universal? Menurut Jeanne Abbott, Associate Professor Print and Digital Journalism di Missouri School of Journalism University, di Missouri, Amerika Serikat, wartawan menyebut suatu berita itu penting karena adanya karakteristik tertentu yang disebut nilai berita (news values).
 
Jurnalis menerapkan nilai-nilai berita ini setiap hari untuk membuat penilaian tentang apa yang harus dilaporkan dan disajikan kepada pembaca dan pemirsa mereka. Tentu saja, penyajian foto korban FS, kasus tante dan keponakan, kasus Lucinta Luna maupun kasus prostitusi online jauh dari apa yang disebut Jeanne Abbott sebagai news values.
 
Kehadiran berita-berita tanpa news values yang makin banyak belakangan ini juga senada dengan iklan yang dimuat di banyak media online. “Si Dia Jadi Basah Tiap Malam” atau “Bisa Berkali-kali Sampai Subuh”. Ada juga judul iklan yang seperti ini: “Ngaceng Ampe Besok”.
 
Ketika media sudah menjadikan clickbait sebagai pedoman, lama-lama apa pun boleh dilakukan. Selamat tinggal news values.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar jurnalistik Kolom

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif