Kabul Indrawan, pengamat ekonomi pertanian
Kabul Indrawan, pengamat ekonomi pertanian (Kabul Indrawan)

Kabul Indrawan

Pengamat Ekonomi Pertanian

Memastikan Tidak Impor Pangan Bukan Hanya Omon-omon

Kabul Indrawan • 21 Desember 2024 18:17
TAHUN 2025 akan semakin menantang bagi produksi pangan di Indonesia. Pasalnya, pemerintah menyatakan tidak akan mengimpor empat komoditas strategis yaitu beras, jagung, gula, serta garam dengan alasan “di atas kertas” cadangan dan produksi dalam negeri mencukupi.
 
Beras misalnya, cadangan beras Bulog di akhir tahun ini diperkirakan mencapai 2,07 juta ton. Padahal biasanya pada November hingga Desember stok beras di bawah 800 ribu ton.
 
Jika rasio stok terhadap penggunaan beras (stock to use ratio) awal 2025 mencapai 20 persen, ditambah proyeksi Kementerian Pertanian (Kementan) produksi tahun depan sebesar 32 juta ton, maka kita tidak perlu impor beras.
 
Demikian pula komoditas jagung, hingga November 2024 produksi dalam negeri mencapai 20,57 juta ton ,melampaui kebutuhan jagung nasional sebesar 14,19 Juta Ton. Dengan kata lain awal tahun depan ada sisa lebih dari 6 juta ton jagung. Dengan target produksi 2025 sebesar 16,68 juta ton, maka kebutuhan jagung dalam negeri akan tercukupi.
 
Hal yang sama terjadi pada gula. Produksi gula tahun depan diperkirakan hanya 2,46 juta ton atau di bawah kebutuhan nasional yang mencapai 2,8 juta ton. Jika ditambah cadangan akhir tahun ini sekitar 1,4 juta ton, diperkirakan kebutuhan dalam negeri akan terpenuhi.
 
Sementara itu, untuk kebutuhan 4,8 juta ton garam, Menko Pangan Zulkifli Hasan yakin akan tercukupi karena target produksi tahun depan sebanyak 2,25 juta ton. Belum lagi ditambah stok garam sisa tahun ini sebesar 800.000 ton serta outstanding impor garam untuk industri sejumlah 1,7 juta ton.
 
Sekali lagi semua ini masih “di atas kertas”. Perhitungan ini berdasarkan angka-angka dalam asumsi optimistis semua baik-baik saja, situasi normal, tanpa ada kejutan geopolitik, iklim dan banyak hal lainnya.

Mengendalikan tantangan

Manusia hanya berperan 20 persen dalam produksi pangan (pertanian). Selebihnya sangat bergantung pada kondisi alam, benih/bibit yang baik, serta pemupukan.
 
Sensus Pertanian mencatat jumlah petani di Indonesia sebanyak 27,79 juta rumah tangga petani. Sebanyak 17 juta di antaranya adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah setengah hektare (BPS, 2023).
 
Populasi petani yang menua ditambah laju alih lahan pertanian sebesar 80 Ribu sampai 100 ribu hektare per tahun, membuat produksi pangan di negeri ini menjadi ”menantang”. Ini menunjukkan pertanian konvensional yang mengandalkan lahan luas dan banyaknya petani perlu berubah.
 
Mungkin saja upaya ekstensifikasi dan optimalisasi lahan pertanian 3 juta hektare, dalam jangka pendek membuat pangan tahun depan meningkat, tetapi belum tentu menjamin kesinambungan produksi pangan Indonesia beberapa tahun berikutnya.
 
Luasan lahan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil panen akibat banyak variabel yang sulit diprediksi, seperti perubahan iklim (climate change) yang sudah sangat mengkhawatirkan. BMKG dalam Climate Outlook 2025 memperkirakan cuaca pada 2025 cenderung normal, sangat mendukung peningkatan produktivitas tanaman pangan.
 
Tetapi, kita jangan mengabaikan peringatan Organisasi Metereologi Dunia (WMO). WMO memprediksi 2025 menjadi satu dari tiga tahun terpanas setelah era pra-industri dengan kenaikan suhu antara 1,29-1,53 derajat Celsius.
 
Naiknya suhu bumi menyebabkan organisme pengganggu tanaman (OPT) berkembang biak lebih cepat dan berujung pada ancaman gagal panen.
 
Masalah belum berhenti, sekarang kondisi 72 persen tanah pertanian di Indonesia rusak akibat berlebihan pemakaian pupuk kimia anorganik. Hal ini membuat unsur hara alami tanah semakin rendah sehingga tanah makin lapar dan mengancam produksi pangan.

Mempersempit ketidakpastian

Melawan ketidakpastian iklim serta geopolitik yang sangat dinamis tentu tidak mudah. Belum lagi variabel lain yang tidak terkendali. Hal ini membuat sektor pertanian sebagai penyedia pangan menjadi penuh ketidakpastian.
 
Pemerintah bisa mempersempit ruang problematika tersebut dengan penggunaan teknologi alat dan mesin pertanian modern (alsintan), bibit unggul, dan penyediaan pupuk yang berlimpah. Tingkat mekanisasi pertanian di Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan hingga 236 persen dalam beberapa tahun terakhir.
 
Jika pada 2015 level mekanisasi nasional tercatat sebesar 0,5 horsepower per hektar (HP/ha), enam tahun kemudian meningkat menjadi 2,1 HP/ha. Sayangnya, di tahun yang sama level mekanisasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Level mekanisasi pertanian Malaysia sudah sebesar 2,4 HP/ha, Thailand 2,5 HP/ha, Jepang 16 HP/ha, apalagi Amerika Serikat mencapai 17 HP/ha.
 
Indonesia harus mampu mempersempit ketertinggalan level mekanisasi nasional dengan memperbanyak jumlah alsintan di tingkat petani. Target peningkatan level mekanisasi hingga 3,5 HP/ha hanya dapat direalisasikan dengan merealisasikan distribusi 71 ribu unit alsintan ke seluruh Indonesia secara merata dan berkeadilan pada 2025.
 
Pemerintah juga tidak boleh lupa, pengadaan benih unggul dan berkualitas dengan harga yang terjangkau. Petani Indonesia harus dilindungi dari benih-benih mahal yang menggerus kantong mereka yang semakin tipis dengan meningkatkan besaran subsidi benih.
 
Tidak hanya itu, kebutuhan pupuk akan meningkat seiring dengan cetak sawah, brigade pangan dan optimalisasi lahan rawa di 12 provinsi.
 
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat kebutuhan pupuk nasional pada 2024 adalah 23 juta ton, sedangkan produksi pupuk PT Pupuk Indonesia (PTPI) tahun 2024 hanya 18,1 juta ton. Ketika luas lahan pertanian bertambah, dipastikan kebutuhan pupuk akan meningkat.
 
Jika PTPI tidak memperbesar kapasitas produksi, maka tahun depan petani kembali menghadapi masalah klasik berupa kelangkaan pupuk yang berujung pada gangguan produksi pangan. Selain itu upaya ekstensifikasi lahan pertanian di luar Papua, Kalimantan, Sumatra, dan daerah lain jangan sampai melupakan intesifikasi lahan di Jawa yang selama ini dikenal subur dan ideal untuk produksi pangan serta mengembalikan kesuburan lahan yang sakit dengan pupuk organik.
 
Terakhir, Presiden Prabowo juga harus tegas menghentikan laju konversi lahan pertanian produktif sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
 
Presiden juga harus berani meninjau ulang Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi perumahan mewah. Agar program swasembada pangan bisa segera terwujud tanpa ada gangguan yang berarti.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar kedaulatan pangan Swasembada Pangan pertanian

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif