Ilustrasi salat tarawih pertama. Medcom.id/Fajri Fatmawati
Ilustrasi salat tarawih pertama. Medcom.id/Fajri Fatmawati (Saikhu Baghowi)

Saikhu Baghowi

Jurnalis Senior Metro TV

Jalan Muhasabah di Tengah Wabah

Saikhu Baghowi • 27 April 2020 04:00
MARHABAN ya Ramadan, bulan penuh ampunan, penuh berkah, bulan ajang setiap mukmin untuk bermuhasabah.Mukmin adalah orang yang beriman. Dan puasa Ramadan diwajibkan bagi orang yang beriman dengan tujuan meningkatkan derajat takwa, sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 183).
 
Derajat ketakwaan seorang mukmin nampak dalam perilaku kesehariannya. Dari kebiasaan menumpuk harta, berubah gemar membagi harta, pelit berubah dermawan, dari kebiasaan menggunjing orang, berubah menjadi sayang kepada sesama. Dari berpikir negatif menjadi berpikir positif, kebiasan mencaci maki berubah mengasihi. Intinya akhlak keimanan menuntunnya pada akhlakul karimah yang dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah SAW.
 
Kalaupun seorang mukmin telah rajin bersedekah, maka hikmah Ramadan menjadikannya untuk terus bersedekah. Kalaupun dia telah berperilaku jujur, maka Ramadan akan menuntun kejujurannya untuk menular kepada orang lain. Amal sholehnya akan terus menjadi alarm mukmin untuk tidak tergoda pada hal-hal yang merugikan orang lain, justru akan menebarkan kebaikan kepada orang lain.
 
Kata “beriman” juga karena puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat Nabi Muhammad SAW saja. Puasa juga diajarkan oleh para nabi sebelum Muhammad SAW. Karenanya semua agama samawi menjalankan puasa, dengan tata cara dan waktu yang berbeda-beda. Bergantung pada ajaran masing-masing agama tersebut. Muaranya sama: menuju pada pengendalian diri dalam konteks hubungan antarmanusia di muka bumi ini. Ramadan Bulan Muhasabah
 
"Maka puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjar pahalanya," demikian Allah berfirman dalam hadits Qudsi.Hadits Qudsi di atas sangat kontekstual dengan situasi saat ini, kala kita menghadapi wabah virus korona. Keputusan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB} di berbagai daerah merangsang kita untuk mengembalikan esensi cara menjalani ibadah puasa itu sendiri.
 
Tidak perlu menunjukkan kita rajin salat tarawih berjemaah, agar mereka tahu kita mengenakan baju koko baru, sorban baru, sajadah baru, atau mukena baru. Kita tak perlu jumawa betapa hebatnya umat Islam berbondong-bondong memenuhi masjid dan musala.
 
Cukuplah Allah yang Maha Tahu dan diri kita sendiri sejauh mana kita beribadah kepada-Nya. Cukuplah Allah yang Maha tahu, ketika kita merintih di tengah malam, di sela-sela sujud kita, menangisi dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini. Dengan cara ini, insha Allah, Allah mengabulkan permohonan kita, mengampuni dosa-dosa kita.

Tidak perlu menunjukkan kita rajin salat tarawih berjemaah, agar mereka tahu kita mengenakan baju koko baru, sorban baru, sajadah baru, atau mukena baru.

Momentum Ramadan kali ini di tengah wabah virus korona menjadi ajang kita senantiasa bermuhasabah setiap hari. Tiga puluh hari penuh, tanpa harus menunggu sepuluh hari terakhir Ramadan. Saatnya kita bermesraan dengan Sang Maha Pencipta. Bersimpuh di hadapan-Nya, meluapkan segala kegundahan kepada-Nya.
 
Muhasabah, ajang refleksi diri, mengevaluasi perilaku kita selama ini, kepada keluarga, kepada tetangga, kepada rekan kerja, dan kepada masyarakat pada umumnya. Apakah kehadiran di tengah-tengah mereka telah menebarkan manfaat? Apakah kita telah benar-benar menjalankan amanat Allah bahwa kehadiran kita di dunia menjadi khalifah bagi semesta alam? Muhasabah pada Ramadan 1441 H tahun ini menemukan jalannya sendiri.
 
Tidak perlu lagi, ada sekelompok umat Islam yang merazia tempat hiburan ataupun warung makan yang buka di siang hari. Tidak perlu lagi, tadarus berjamaah dengan mengeraskan suara melalui toa-toa di masjid dan musala, untuk menunjukkan syiar Islam berkumandang di mana-mana. Cukuplah kita bertadarus sendiri, ataupun bersama anak istri di rumah. Bukankah dengan cara ini kita bisa lebih khusyuk menyelami setiap makna yang kita baca dari ayat Alquran?
 
PSBB sudah cukup
 
Setiap daerah tak perlu lagi menerbitkan Perda mengantisipasi peluang munculnya razia tempat hiburan ataupun warung yang buka di siang hari. Tidak perlu lagi ada surat edaran kepala daerah tentang tatacara bertadarus di masjid dan musala. Segala pasal dalam PSBB sudah cukup menjadi payung hukum, karena telah melarang mobilisasi massa.
 
Muhasabah juga memicu kita melihat sekeliling kita, bahwa banyak saudara kita yang kurang bernasib baik seperti kita. Di sinilah Ramadan kali ini menjadi ladang pahala yang berlipat-lipat.
 
Peluang itu terbentang di depan mata. Ketika kita mendengar berita betapa banyak mereka yang terdampak korona. Tetangga dan teman kita menganggur karena pemutusan hubungan kerja (PHK). Tetangga dan teman kita yang terhimpit ekonomi lantaran kehilangan pekerjaan.
 
Saatnya kita mengulurkan tangan dan berbagi rejeki atas nikmat Allah yang Dia titipkan kepada kita selama ini. Ramadan adalah PSBB, Pahala Syaum Berskala Besar.
 
Di tengah pandemi wabah virus korona, mari menengadahkan tangan, agar ujian ini segera berlalu. Bukankah Allah telah berjanji dalam Surat Al Insyirah ayat 5 dan 6: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
 
Hingga dua kali Allah menjanjikan itu. Betapa janji Allah itu sangat serius buat hamba-Nya untuk bisa keluar dari ujian dan kesulitan.[]
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Ramadan 2020

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif