Presiden Joko Widodo bersama para staf khusus dari kalangan milenial. Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo bersama para staf khusus dari kalangan milenial. Foto: Antara/Wahyu Putro A (Syah Sabur)

Syah Sabur

Jurnalis Senior Medcom.id

Menjaga Presiden

Syah Sabur • 22 April 2020 07:01
POLEMIK yang menimpa tiga staf khusus milenial Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai agak mereda setelah salah satunya mengundurkan diri. Setelah menjadi polemik berhari-hari, stafsus Belva Devara mundur dari jabatan yang didudukinya sejak 21 November 2019.
 
Polemik berawal saat platform Ruangguru menjadi bagian dari pelatihan online program Kartu Prakerja, yakni Skill Academy. Sebagian pihak menganggap, penunjukan Ruangguru mengandung konflik kepentingan.
 
Meskipun Belva tidak ikut dalam penentuan Ruangguru sebagai salah satu platform pelatihan online, namun jabatannya sebagai stafsus tetap punya pengaruh. Apalagi dia pun masih menduduki posisi CEO dalam platform tersebut.
 
Dalam surat pengunduran diri yang diunggah di akun Instagram miliknya, Belva mengaku ingin menghindari polemik mengenai persepsi publik yang bervariasi. Dia tidak ingin polemik tersebut berkepanjangan dan dapat mengakibatkan terpecahnya konsentrasi Presiden Jokowi serta seluruh jajaran pemerintahan dalam menghadapi pandemi covid-19. Apapun ceritanya, kita hargai sikap ksatria Deva. Kita lepas sang milenial dengan doa agar dia bisa menyumbangkan beragam idenya di mana pun. Sekarang tinggal kita tunggu sikap dua stafsus lainnya, yaitu Billy Mambrasar dan Andi Taufan.
 
Mencuri perhatian
 
Sikap Billy mencuri perhatian publik saat dia mencantumkan jabatannya sebagai staf khusus presiden di profil linkedIn. Sebatas itu, tidak ada yang salah karena dia memang stafsus. Menjadi salah ketika menyebut stafsus memiliki kedudukan yang sama dengan seorang menteri. Selain itu, Billy mendeskripsikan posisinya setara dengan lembaga West Wing di Amerika Serikat yang merupakan penasihat Presiden.
 
Ini sebetulnya hanya “dosa kecil”, dosa anak-anak. ABG (anak baru gede) yang masih bangga dengan hal yang bersifat artifisial. Kosmetik. Bagi ABG, hal seperti itu amat penting untuk menunjukkan kelasnya di kalangan teman-teman sepermainannya.
 
Walaupun dia hanya melakukan “dosa kecil”, tapi itu menunjukkan bahwa dia memang masih ABG, belum dewasa. Karena belum dewasa, dia belum layak menjadi stafsus. Menjadi orang yang menjaga muruah Presiden. Kalau dia tidak bersedia mundur karena pikirannya masih terlalu polos, sebaiknya dia dimundurkan secara terhormat dan bermartabat agar dia lebih dewasa.
 
Lain halnya dengan Andi Taufan, stafsus yang juga menjabat CEO PT Amartha Mikro Fintek, sebuah perusahaan financial technology (fintech). Kontroversi Andi bermula saat ia menuliskan surat yang ditujukan kepada camat di berbagai pelosok di Indonesia.

Kalau dia tidak bersedia mundur karena pikirannya masih terlalu polos, sebaiknya dia dimundurkan secara terhormat dan bermartabat agar dia lebih dewasa.

Yang menarik, Andi menulis surat di atas kertas berkop Sekretariat Kabinet. Tapi, di akhir surat dia mencantumkan jabatannya sebagai stafsus. Lha, bagaimana stafsus menulis surat di kertas berkop Setkab?
 
Sampai di sini, kesalahannya bisa digolongkan sebagai “dosa yang agak besar”; dia tidak paham tata administrasi suatu institusi pemerintah. Istana lagi.
 
Kesalahannya meningkat jadi “dosa besar” karena dia menyurati para camat, layaknya seorang menteri. Surat itu berisi kerja sama perusahaannya dalam program Relawan Desa Lawan Covid-19 di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Selanjutnya petugas lapangan Amartha akan menjalankan program tersebut lewat dua hal, yaitu edukasi tentang covid-19 dan pendataan kebutuhan APD (alat pelindung diri) di puskesmas.
 
Tambahan dosa
 
Ada lagi tambahan “dosa besar” bagi Andi karena dia (sebagai stafsus) menyebut telah menerima komitmen dari PT Amartha Mikro Fintek (tempatnya menjadi CEO) untuk menjalankan program milik Kemendes PDT di area Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Ini sungguh tidak lucu dan tidak logis. Orang yang bernama Andi (sebagai stafsus) mengaku menerima komitmen dari Andi (sebagai CEO PT Amartha).
 
Cukuplah ceritanya sampai di situ. Tidak perlu penjelasan soal kemungkinan untung yang bisa diraih dari aksi korporasi tersebut. Sebab, dia sudah punya dua dosa: tidak paham tata administrasi dan logikanya kurang bagus. Bisa jadi, dia juga memasuki konflik kepentingan yang harus dibuktikan lebih lanjut.
 
Sebagai stafsus, dua dosa itu sudah lebih dari cukup untuk memintanya mundur. Sungguh terlalu jika dia tidak mundur. Sebab, dengan dosa yang lebih kecil, Belva sudah menempuh jalan ksatria.
 
Para stafsus (milenial) adalah orang-orang pilihan yang bertugas menjaga muruah dan martabat Presiden. Agar Presiden tidak salah langkah dalam membuat kebijakan. Lebih dari itu, agar Presiden selalu mengeluarkan kebijakan yang segar, sesegar pikiran para milenial.
 
Bukan menteri
 
Secara formal, merujuk ke Perpres Nomor 29 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 17/2012 tentang Utusan Khusus Presiden (pasal 19) disebutkan, stafsus, bertanggung jawab secara administratif kepada Sekretaris Kabinet. Namun, dalam penugasan, masing-masing stafsus bertanggung jawab kepada Presiden. Karena bertanggung jawab kepada sekretaris kabinet, maka stafsus sama sekali tidak memiliki kewenangan sebagai menteri.
 
Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi Presiden/pemerintah. Sebaiknya, ketika seseorang menduduki posisi penting di pemerintahan, orang tersebut harus fokus pada tugasnya dan melepaskan jabatan lain di luar pemerintah. Apalagi jika jabatan sebelumnya terkait dengan lembaga bisnis, bukan lembaga nirlaba.
 
Wakil Ketua MPR Arsul Sani menyebutkan, meskipun kita belum memiliki UU yang mengatur etika penyelenggara negara, sebaiknya seluruh pejabat negara, termasuk stafsus, juga berpatokan ke UU Administrasi Pemerintahan dan UU ASN. Sebab, ada UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebut pengertian tentang situasi yang disebut benturan kepentingan (conflict of interest).
 
Karena dosa-dosa Andi, maka otomatis gugur pula kemampuannya untuk menjaga martabat Presiden. Dalam konteks budaya Jepang, orang seperti itu akan menempuh jalan terhormat, yaitu melakukan harakiri, bunuh diri, sebagai bentuk tanggung jawab akibat gagal melaksanakan suatu misi.
 
Karena kita bukan bangsa Jepang, cukuplah jika Andi pamit baik-baik kepada Presiden. Setelah itu, sebagai milenial, terlalu banyak hal yang bisa dilakukannya untuk bangsa ini.[]
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Kartu Prakerja

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif