Karena itu pula, agak mengagetkan ada tokoh Indonesia, purnawirawan jenderal, menyebut bahwa apa yang terjadi antara Palestina dan Israel ialah urusan mereka, bukan urusan Indonesia. Selain ahistoris, pernyataan seperti itu sama seperti hendak mencabut salah satu dari paru-paru atau jantung dari tubuh kita. Saya mencoba berbaik sangka bahwa pernyataan itu semata mengajak kita untuk memprioritaskan kepentingan dalam negeri ketimbang urusan luar negeri yang 'jauh'. Namun, tetap saja pernyataan itu mengganggu.
Untungnya, pemerintah Indonesia konsisten tak pernah mau mengakui negara Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948 karena merampas tanah rakyat Palestina. Itulah sebabnya sejak zaman Bung Karno, Indonesia tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Prinsip Indonesia, 'penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan petikemanusiaan dan perikeadilan'.
Beragam rayuan Israel pun tak pernah membuat Indonesia beringsut dari sikap menolak penjajahan Israel. Seperti yang baru-baru ini terjadi, saat pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Desember 2020, menjanjikan bantuan pembangunan hingga US$2 miliar (Rp28 triliun) jika Indonesia mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Pernyataan tersebut dilontarkan pejabat top pemerintahan Trump, Adam Boehler, kepada Bloomberg yang dipublikasikan pada 22 Desember 2020. Pernyataan Boehler juga dikutip media Israel, The Times of Israel.
Pemerintah menegaskan bahwa Indonesia tetap tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kepastian soal itu telah disampaikan berulang kali oleh Presiden Jokowi. Jauh sebelum itu, rayuan Israel juga pernah disampaikan. Sejarawan dan peneliti Greg Barton dan Colin Rubenstein menceritakan bagaimana Israel merayu pemimpin Indonesia, Soekarno dan Hatta, untuk mengakui kemerdekaan Israel.
Dalam jurnal bertema Indonesia and Israel: A Relationship in Waiting (2005) kedua peneliti tersebut mengisahkan, pada Desember 1949, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion mengirim telegram kepada Soekarno-Hatta berisi ucapan selamat atas penyerahan kedaulatan Indonesia.
Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett mengirimkan pesan bahwa negara Yahudi itu telah memberikan pengakuan penuh kemerdekaan Indonesia. Saat menerima pesan tersebut, Soekarno menyerahkan keputusan untuk membalas ucapan itu kepada Hatta. Hatta pun menanggapi pesan Sharett dan Ben-Gurion hanya dengan ucapan terima kasih, tetapi tetap tanpa pengakuan diplomatik.
Menanggapi keengganan Indonesia, Sharett kembali menulis surat kepada Hatta soal rencana pengiriman misi persahabatan ke Indonesia. Lagi-lagi, rencana itu pun direspons Hatta dengan sopan bahwa agenda itu tidak dibutuhkan.
Jantung dan paru-paru itu kini kembali menyatu, memompakan oksigen ke sekujur tubuh dunia, membawa pesan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, termasuk Palestina. Kekerasan, kebrutalan harus diakhiri dengan perdamaian abadi dan tata dunia yang adil bagi Palestina.