Ilustrasi. MI/Duta
Ilustrasi. MI/Duta (Media Indonesia)

Politisasi Agama Barang Usang

Media Indonesia • 19 April 2021 06:15
DEMOKRASI di Indonesia kembali diuji dengan munculnya wacana pembentukan koalisi poros partai Islam. Politik identitas yang jelas-jelas buruk bagi demokrasi lagi-lagi hendak diusung para politisi yang katanya pejuang demokrasi.
 
Wacana pembentukan poros partai Islam berawal dari pertemuan antara Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, pada Rabu, 14 April 2021. Dari situlah wacana bergulir dengan segala dinamika hingga saat ini. Partai-partai Islam lain seperti PBB dan PKB menganggapnya baik meski dengan catatan, tetapi ada pula yang mengkritik, bahkan menentang, termasuk PAN.
 
Sebagai negara demokrasi, Republik ini memang menjamin ciri khas atau identitas partai politik. Undang-undang No 2 Tahun 2011 tentang Parpol mempersilakan partai eksis dengan ideologi tertentu selama tak dilarang, termasuk berideologi agama. Akan tetapi, harus lantang kita suarakan bahwa kepentingan bangsa ialah yang paling utama.
 
Sejak reformasi, poros partai Islam memang pernah unjuk gigi dengan menjadikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden. Kisah sukses itulah yang hendak diulang dalam menatap Pilpres 2024 mendatang. Mereka, para penggagas wacana, menginginkan koalisi partai Islam reborn, padahal situasi dan kondisinya sudah sangat berbeda. Niat hendak menghidupkan kembali koalisi partai berbasis identitas saat ini dan di kemudian hari bertentangan dengan akal sehat. Ia bukan niat yang baik karena sejarah menunjukkan penggunaan simbol-simbol agama justru menyebabkan terjadinya turbulensi politik.
 
Penggunaan jargon agama sebagai merek jualan juga terbukti membonsai demokrasi. Demokrasi akan bagus, berkualitas, dan substansial jika ia dibangun dan dimatangkan dengan politik rasional. Sebaliknya, demokrasi hanya akan sebatas prosedural dan rutinitas tiada guna jika diramaikan dengan argumen-argumen irasional, termasuk dengan memolitisasi agama.
 
Kita tentu ingin demokrasi kita dari waktu ke waktu semakin sehat dan bermutu. Karena itu, tak semestinya lagi kita memberikan ruang bagi politik model poros-porosan berbasis identitas.
 
Tak cuma bagi demokrasi, wacana pembentukan poros partai Islam juga buruk bagi kehidupan bangsa dan negara. Ia dipastikan akan melahirkan antitesis poros lain berbasis nonagama. Kalau itu terjadi, kompetisi demokrasi akan menyuguhkan pertarungan head to head dua kubu yang sengit, panas, dan pasti membelah masyarakat.
 
Pilkada DKI Jakarta 2017 ialah contoh nyata tatkala agama dijadikan instrumen untuk memenangi rivalitas hingga menyebabkan keretakan kohesivitas sosial. Pilpres 2014 dan 2019 terang benderang memperlihatkan betapa agama yang dijadikan alat untuk menyerang calon di perhelatan itu mengancam integrasi nasional.
 
Luka bangsa ini akibat politik identitas masih menganga lebar. Sekat-sekat akibat penggunaan agama dalam politik masih amat tebal memisahkan sesama anak bangsa. Tidak gampang memulihkannya, karena itu jangan memperparah lagi.
 
Poros partai berbasis identitas, termasuk koalisi partai Islam, ialah barang usang. Ia bertentangan dengan politik kekinian yang mengedepankan rasionalitas, bukan berkutat pada sentimen agama sebagai pembusukan akal sehat.
 
Wacana pembentukan koalisi partai Islam hanya akan menyeret bangsa ini ke masa silam yang kontraproduktif bagi upaya kita menjemput masa depan. Sebagai wacana saja ia tak elok, apalagi jika sampai diwujudkan.
 
*Editorial Media Indonesia, Senin, 19 April 2021

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar partai politik demokrasi toleransi beragama Demokrasi Indonesia

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif