Hari Guru Nasional tahun ini terasa berbeda. Nama kementerian yang sebelumnya dikenal sebagai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kini berubah menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), dengan tonggak kepemimpinan baru Prof. Dr. KH. Abdul Mu’ti.
Dalam pesannya yang disampaikan saat melakukan kunjungan kerja ke beberapa sekolah, Mendikdasmen menekankan pentingnya transformasi peran guru: tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pemimpin pembelajaran yang adaptif, kreatif, dan relevan dengan tantangan zaman. Sebuah visi yang indah, tetapi juga menggugah kegelisahan: apakah guru-guru kita telah cukup diperlengkapi untuk memenuhi ekspektasi tersebut?
Realitas di Lapangan: Antara Idealisme dan Beban
Ironisnya, sistem pendidikan kita kerap mengukur keberhasilan guru dari output administrasi, bukan dampak pembelajaran yang mereka ciptakan. Beban administratif yang kaku dan repetitif—mulai dari mengisi laporan harian hingga dokumen akreditasi—membuat guru kehilangan esensi peran mereka sebagai pendidik. Tidak jarang, guru merasa seperti pegawai administrasi ketimbang seorang profesional yang memimpin transformasi pembelajaran. Lebih mencemaskan lagi adalah bagaimana beban tersebut berdampak pada kesehatan mental guru. Hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa lebih dari 40% guru mengalami stres kerja yang dipicu oleh beban tugas yang tidak proporsional, minimnya apresiasi, dan tekanan untuk memenuhi target kurikulum yang sering kali tidak realistis. Dengan kondisi seperti ini, apakah transformasi pendidikan yang diimpikan pemerintah dapat terwujud?
Di sisi lain, kesenjangan antara kebijakan dan implementasi juga menjadi tantangan. Sementara pemerintah menyerukan pentingnya inovasi, di lapangan banyak guru masih terjebak dalam metode pengajaran konvensional karena minimnya akses pelatihan dan fasilitas. Situasi ini menciptakan paradoks: guru dituntut menjadi inovator, tetapi tidak diberi cukup ruang dan sumber daya untuk berinovasi.
Transformasi yang Diharapkan: Dari Beban Menuju Pembebasan
Visi yang diusung Mendikdasmen Abdul Mu’ti tentang guru sebagai pemimpin transformasi tidaklah keliru. Namun, ada beberapa pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan agar transformasi ini bukan sekadar jargon.
Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa kesejahteraan guru menjadi prioritas. Masih banyak guru honorer yang menerima gaji jauh di bawah upah minimum regional (UMR). Dengan pendapatan seperti itu, bagaimana mungkin mereka bisa fokus mengembangkan kompetensi dan memimpin transformasi pembelajaran?
Kedua, pelatihan berbasis kebutuhan nyata harus diutamakan. Alih-alih hanya menjejalkan program pelatihan formal yang sering kali bersifat umum dan monoton, pelatihan berbasis teknologi, pemahaman psikologi anak, dan metode pembelajaran kreatif perlu menjadi fokus. Guru perlu dilatih untuk memanfaatkan teknologi bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi sebagai medium pembelajaran yang inovatif dan menarik.
Ketiga, kurangi beban administratif yang tidak relevan. Sistem pendidikan kita membutuhkan perampingan birokrasi agar guru bisa lebih banyak berinteraksi dengan siswa daripada berkutat dengan tumpukan kertas laporan. Teknologi bisa menjadi solusi, tetapi hanya jika diterapkan secara efektif dan ramah pengguna.
Guru sebagai Pemimpin Pembelajaran
Di tengah tantangan tersebut, ada banyak contoh guru yang sudah melampaui batas ekspektasi. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Di sebuah desa di Nusa Tenggara Timur, seorang guru memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk mengajarkan sains kepada siswa. Di Jakarta, seorang guru SMA menggunakan platform media sosial untuk menciptakan konten pembelajaran interaktif yang viral.
Namun, tidak semua guru memiliki kesempatan atau dukungan untuk mengambil peran sebagai pemimpin pembelajaran. Tantangan struktural dalam sistem pendidikan sering kali mengerdilkan peran guru. Kurikulum yang terlalu padat dan seragam membatasi ruang kreativitas guru, sementara hierarki birokrasi membuat mereka lebih sering menerima instruksi daripada diberdayakan untuk mengambil inisiatif. Di sini, urgensi reformasi sistem muncul: bagaimana memberikan kebebasan yang terarah bagi guru untuk mengeksplorasi metode pembelajaran yang relevan dan kontekstual, tanpa terbebani aturan administratif yang menghambat?
Leadership yang ditekankan Abdul Mu’ti bukan hanya soal jabatan formal, tetapi tentang kemampuan untuk memandu siswa agar siap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Dalam hal ini, pemerintah perlu menyadari bahwa kepemimpinan guru adalah buah dari proses pembinaan yang konsisten, bukan tuntutan instan. Pelatihan yang mendorong keberanian guru untuk berinovasi, berpikir kritis, dan mengambil peran strategis dalam pengembangan pendidikan harus menjadi prioritas. Tanpa itu, jargon "guru sebagai pemimpin" hanya akan menjadi sekadar retorika tanpa dampak nyata.
Membangun Masa Depan, Melalui Guru yang Bahagia
Di penghujung pidatonya, Abdul Mu’ti menekankan pentingnya kebijakan yang membuat guru bekerja dengan gembira. Pernyataan ini sederhana, tetapi memiliki makna mendalam. Guru yang bahagia akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan membekas. Namun, kebahagiaan ini tidak akan terwujud tanpa kebijakan yang humanis, dukungan yang nyata, dan kepercayaan yang tulus kepada guru sebagai penggerak utama pendidikan.
Hari Guru Nasional bukan sekadar momen untuk memuji jasa guru. Ini adalah panggilan untuk refleksi mendalam. Sudahkah kita, sebagai bangsa, memberikan penghormatan yang layak kepada para guru? Atau penghormatan itu masih sebatas kata-kata indah tanpa tindakan nyata?
Jika transformasi pendidikan adalah tujuan, maka guru adalah kunci. Sebuah kunci yang harus dirawat, dihargai, dan diberdayakan. Sebab tanpa mereka, harapan kita untuk menciptakan generasi emas hanyalah angan-angan. Seperti ungkapan bijak yang sering kita dengar dalam dunia pendidikan: At thariqah ahammu minal maddah, wal mudarris ahammu minat thariqah, war ruhul mudarris ahammu minal mudarris nafsihi. Artinya, metode itu lebih penting dari materi ajar, dan guru lebih penting dari metode, tetapi ruh (jiwa) seorang guru itu lebih penting dari guru itu sendiri.
Ruh inilah yang menjadi inti dari transformasi pendidikan. Ketika seorang guru mendidik dengan jiwa yang penuh dedikasi dan cinta, pendidikan akan menjadi kekuatan yang membangun peradaban. Maka, tugas kita adalah memastikan bahwa setiap guru memiliki ruang dan dukungan untuk menjaga ruh tersebut tetap hidup. Sebab masa depan bangsa ini berada di tangan mereka.
Langkah awal yang diambil Mendikdasmen Abdul Mu’ti patut diapresiasi sebagai komitmen nyata dalam membawa perubahan pada dunia pendidikan Indonesia. Penekanan pada transformasi peran guru menjadi pemimpin pembelajaran adalah arah tepat untuk menghadapi tantangan zaman.
Dengan kebijakan yang mulai menyentuh aspek substansial seperti kesejahteraan dan pelatihan berbasis kebutuhan nyata, harapan akan sistem pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan berorientasi pada pengembangan potensi siswa menjadi semakin dekat dengan kenyataan. Ini adalah awal menjanjikan, yang perlu diikuti dengan implementasi secara konsisten dan dukungan terus-menerus agar visi besar ini benar-benar terwujud di setiap sudut negeri.[]
*Muhammad Fauzinudin Faiz, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq (KHAS) Jember