ilustrasi pesantren. Foto: Medcom.id/Arga Sumantri
ilustrasi pesantren. Foto: Medcom.id/Arga Sumantri (M Tata Taufik)

M Tata Taufik

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat

Majelis Masyayikh, Menag, dan Regulasinya

M Tata Taufik • 04 Januari 2022 17:09
PADA 30 Desember 2021 Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengukuhkan 9 kiai sebagai Majelis Masyayikh yang bertugas menyelenggarakan penjaminan mutu pendidikan pesantren. Kelahiran lembaga yang diharapkan menjadi penentu arah kemajuan pesantren itu bukan hal yang tiba-tiba, tapi melalui proses panjang melibatkan para pimpinan pesantren melalui tahapan diskusi dan rancangan regulasi. Pada akhirnya melahirkan UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Seingat penulis perjalanan itu dimulai sejak 2007 di Wisma YPI Ciawi, Kabupaten Bogor.

Ada beberapa alasan kuat yang mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan berkenaan dengan pengakuan kesetaraan (muadalah) bagi pesantren. Pesantren dinilai memiliki kapasitas dan kelayakan untuk disetarakan lulusannya dengan lulusan pendidikan formal yang ada di Indonesia.
 
Beberapa alasan tersebut di antaranya: terdapat beberapa pesantren yang mendapatkan muadalah (penyetaraan lulusannya) dari beberapa perguruan tinggi internasional. Sebut saja Pondok Modern Daarusaalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren Gontor mendapat pengakuan dari Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir (1957) dan Kementerian Pengajaran Kerajaan Arab Saudi (1967). Gontor pun mendapat pengakuan dari Universitas Islam Antarbangsa Malaysia (IIUM) pada 1983 dan University of the Punjab (PU), Lahore, Pakistan, pada 1991.
 
Dengan pengakuan tersebut, lulusan Gontor bisa meneruskan studi ke jenjang sarjana di Universitas Al-Azhar Mesir, Universitas Islam Internasional Madinah, serta universitas lain seperti tersebut di atas. Sementara di Indonesia hanya IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menerima lulusan Gontor dan pesantren semisal seperti Al-Amin Prenduan Madura dan Pabelan Muntilan Jawa Tengah.
 
Kemudian, ada lebih dari 30 pesantren yang mendapat pengakuan Al-Azhar Cairo Mesir yang menyebar di seluruh Indonesia. Seperti Pesantren Al-Anwar Sarang, PP Darunnajah Jakarta, Madrasah Miftahul Ulum Pamekasan, Madura, Madrasah Muallimin dan Muallimat, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang Jatim, dan pesantren lainnya.

Semakin berkembang sejak 2014

Setelah terbitnya PMA No 18 Tahun 2014—peraturan menteri agama pertama sebagai turunan dari PP 55 tahun 2007—pesantren muadalah semakin berkembang. Dari segi jumlah juga semakin meningkat, berbagai usaha pembenahan juga mulai dilakukan. Pada 2015 tercatat ada 48 satuan muadalah. Dan pada tahun berikutnya tercatat ada 79 satuan muadalah. Pada 2017 ada 81 pesantren dan pada 2018 terdapat 98 pesantren.
 
Adapun 18 Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam tentang Penetapan Status Kesetaraan Satuan Pendidikan Muadalah bagi pesantren yang mendapat kesetaraan 2016. Penetapan ini dilakukan langsung Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersamaan dengan momentum pertemuan alumni Gontor dalam rangka Peringatan 90 Tahun Pondok Gontor, pada Jum’at, 2 September 2016. Pesantren sebagai lembaga berjumlah 56 pesantren yang mendapat penyetaraan sampai 2018, sedangkan sebagai satuan muadalah karena ada pemisahan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah maka jumlahnya menjadi 98.
 
Sejak 2014 Kemenag, dalam hal ini Direktorat PD Pontren aktif menyelenggarakan workshop untuk memenuhi kebutuhan perangkat aturan turunan dari PMA 18 Tahun 2014. Beberapa hal yang harus disiapkan antara lain Pedoman Izin Pendirian Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren; Kompetensi dan Kurikulum Satuan Pendidikan Muadalah pada pondok pesantren jenis Salafiyah; Kompetensi dan Kurikulum Satuan Pendidikan Muadalah pada pondok pesantren jenis Mulaimin; Pedoman Penyelenggaraan Ujian Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren; Pedoman Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan Pedoman Bantuan Operasional Santri SPM. Dalam penyusunan ketentuan tersebut, PD Pontren menggunakan pendekatan bottom-up, yakni dengan melibatkan pihak pesantren.
 
Sebagai tindak lanjut dari usulan di atas, pada 20 September 2016 hingga 20 Maret 2017 diselenggarakan studi untuk Pengembangan Kapasitas Pesantren (Developing Capacity Of Pesantren). Studi tersebut dilaksanakan oleh ACDP (Analytical and Capacity Development Partnership), kerja sama antara Kementerian Agama dan Bappenas. Studi tersebut cukup beralasan karena Kemenag telah menerbitkan PMA 13/2014 dan PMA 18/2014 yang berarti mengenalkan bentuk pendidikan baru yang setara dengan pendidikan formal.
 
Studi tersebut hanya dibatasi untuk memberikan data kepada Kementerian Agama serta memberikan opsi kebijakan untuk penguatan PDF dan SPM. Adapun jumlah pesantren yang disurvei sebanyak 293 pesantren dari 8 provinsi di Indonesia. Sedangkan tipe pesantren yang disurvei antara lain; penyelenggara PDF 13 pesantren, penyelenggara Nu’adalah 42 pesantren, dan pesantren tipe lain 238.
 
Dari responden tersebut, 79% menyetujui perlunya perumusan visi dan misi bagi pesantren penyelenggara Pendidikan Diniyah Formal dan Muadalah. Sebanyak 98% menyatakan perlunya paduan bagi penyelenggaraan pesantren dan 94% menyatakan perlu adanya pelatihan penyusunan visi misi tersebut. Sementara, berkenaan dengan kurikulum pesantren penyelenggara PDF dan Muadalah menyatakan perlunya pelaksanaan kurikulum yang mencakup mata pelajaran umum dengan perbandingan 85%-15% yang disetujui oleh 83% responden.
 
Ada tujuh poin temuan studi ACDP & PD Pontren Kemenag RI yang merupakan hasil dari beberapa FGD dan survei lapangan di beberapa pesantren di Indonesia yang disampaikan dalam laporan eksekutifnya tertanggal 23 Maret 2017 menggambarkan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berikut.
 
Tabel Temuan Studi Tentang Muadalah Oleh ACDP
No Materi Kajian Kesepakatan Peserta FGD Alasan
1 PMA No. 18 Tahun 2014 Tentang Satuan Muadalah Diterima secara positif oleh para pemimpin pesantren dan staf kementerian Agama daerah Memberikan pengakuan hukum dan menunjukkan perhatian dan dukukungan pemerintah terhadap pendidikan keagamaan.
2 Persyaratan 300 santri mukim di pesantren dan tidak mendapat akses jenis pendidikan formal apapun Dirasakan memberatkan bagi penyelenggara Banyak pesantren yang memiliki reputasi baik tapi jumlah santri di bawah 300
3 Standar Manajemen berdasarkan peraturan Harus diterapkan standar manajemen minimum. Secara berangsur bisa mengikuti standar yang ditentukan.
4 Standar Kurikulum dan Evaluasi
  • Pesantren Muadalah harus punya otoritas untuk mengembangkan kurikulum.
  • Proses belajar/ mengajar untuk mencapai standar kompetensi santri harus diserahkan sebagai tanggung-jawab masing-masing pesantren.
  • Standar minimal ditetapkan Kemenag.
  • Diberikan kewenangan untuk menentukan mata pelajaran ujian akhir dan menyelenggarakan ujian akhir di masing-masing pesantren
  • Pesantren mu’alimin sudah memiliki sejarah mengitegrasikan mata pelajaran umum dan agama.
  • Bentuk rekognisi atas keunggulan pesantren.
  • Memelihara kekhasan masing-masing pesantren.
  • Memelihara kemandirian dan otonomi pesantren.
5 Ijazah Diterbitkan oleh pesantren dan ditandatangani oleh Pimpinan dan Kepala SPM Kewenangan dan Otoritas Pesantren
6 Penjaminan Mutu Lembaga Penjaminan Mutu terdiri dari Majelis Masyayikh dan ahli pendidikan pesantren Memahami pesantren secara utuh
7 Profesionalisme Guru/Ustadz Perlu pengembangan dan sertifikasi Menuju pesantren lebih baik
Disarikan dari sumber: Tim ACDP & Direktorat PD Pontren 2017

Mempertahankan tradisi pesantren

Gambaran tersebut menunjukkan betapa kuatnya pesantren dalam mempertahankan tradisi dan model pendidikan yang selama ini dianutnya. Ini juga ditegaskan oleh KH Maimun Zubair ketika ditemui pada 22 September 2017 lalu serta diminta pandangan beliau tentang mua’dalah. Ia menyatakan: “Cuma di Indonesia yang masih ada pengkajian kitab-kitab kuning dan harus tetap dipelihara. Di beberapa negara sudah ditinggalkan pengkajian tersebut. Di Sarang ini ya ngaji kitab, dan yang cocok untuk Sarang yang muadalah.”
 
Demikian juga halnya dengan model pesantren modern. Diakui atau tidak, lulusan Gontor ya tetap KMI (Kuliatul Mu’alimin al-Islamiyah). Hal ini sering diungkapkan oleh para pimpinan Gontor seperti KH Hasan Abdullah Sahal dan KH Prof Dr Amal Fatullah Zarkasyi dalam berbagai kesempatan pembahasan muadalah.
 
Bahkan KH Lukman Haris Dimyathi dari pesantren Tremas selalu menyatakan bahwa muadalah harus tetap diperjuangkan. Dan apa yang sekarang sudah dilegalkan (PMA No 13 dan No 18 Tahun 2014) adalah hasil perjuangan panjang para masyayikh.
 
Sedangkan KH Subhan Salim (almarhum) dari Mathali’ul Falah Kajen menyampaikan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh pesantren muadalah. Ada lima hal: Pertama kemandirian; maksudnya kemandirian pesantren dalam menentukan materi ajar, model evaluasi, penerbitan ijazah dan mengelola pesantren. Kedua keberagaman; bahwa pesantren itu banyak ragamnya dan semuanya harus dipelihara dalam arti tidak boleh ada penyeragaman pesantren karena dominasi atau peraturan yang mengarah pada penyeragaman konten maupun sistem serta budaya yang berlaku di pesantren.
 
Ketiga kebersamaan; ini menujukkan bahwa pesantren muadalah baik dari salafiyah maupun modern, pola mualimin harus senantiasa bersama-sama bersatu sebagai kekuatan pesantren muadalah. Keempat kejuangan; artinya pesantren muadalah adalah hasil perjuangan, maka kepada para pelanjut pengelola muadalah harus memahami bahwa muadalah itu hasil perjuangan pendahulunya dan harus tetap dipertahankan sebagaimana yang dikehendaki oleh para pelopor pemuadalahan.
 
Kelima tafaquh fidin; artinya kerangka besar pesantren muadalah adalah untuk memelihara dan menyokong kegiatan tafaquh fidin, karenanya pesantren penyelenggara muadalah bersikeras untuk senantiasa memelihara filosofi dan konsep pendidikan berdasar pada bangunan tradisi pesantren, dan berhati-hati dalam menerima perubahan dari luar. Demikian disampaikan pada Workshop Tata Kelola Penyelenggara Satuan Pendidikan Muadalah 10-11 Oktober 2018 di Yogyakarta.
 
Hal seperti ini sudah disadari oleh para tokoh yang lahir dari kalangan pesantren sebelumnya seperti Nurcholis Madjid. Ia menyatakan, untuk memainkan peranan besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren kita tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki pesantren-pesantren itu sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan karena di sinilah letak kelebihannya (Madjid 1997).

Majelis Masyayikh versus Menag

Setelah disepakati perlunya lembaga Penjaminan Mutu sebagaimana tercantum pada poin 6 hasil studi ACDP tersebut, istilah Penjaminan Mutu itu sendiri baru dimunculkan sebagai hasil kajian atas PMA 18 Taun 2014 Bagian Kesepuluh dengan istilah Akreditasi. Kemudian dikembangkan menjadi konten UU No. 18 tahun 2019 Tentang Pesantren yang tercantum pada paragraf 2, 3 dan 4, dari pasal 25 sampai 32.
 
Teknis pembentukan Majelis Masyayikh (MM) itu kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 31 Tahun 2020. Pada Bab II tentang pembentukan Majelis Masyayikh (MM) dan Dewan Masyayikh (DM). Di situ tertulis tahapan-tahapn dan segala persyaratannya. Seperti termaktub dalam pasal 75 bahwa menteri menetapkan calon anggota MM menjadi anggota MM dengan Keputusan Menteri. Jadi, mekanismenya adalah AHWA mengajukan nama dan menteri memutuskan sesuai dengan ajuan AHWA, serta harus proporsional. Maksud proporsional itu, yakni pada saat FGD rancangan PMA ini adalah keterwakilan setiap variant pesantren yang ada.
 
Sayangnya pada saat MM dikukuhkan ternyata prinsip proporsionalitas itu diabaikan Menag. Bahkan dari jumlah usulan 21 orang calon MM hanya diambil 9 orang sesuai ketentuan minimal. Padahal, jika beriktikad baik dan memperhatikan proporsionalitas, akan lebih bijak jika mengambil jumlah maksimal sesuai amanat PMA yang diterbitkan oleh kementerian yang dipimpinnya.
 
Menurut keterangan dari beberapa pihak, termasuk Direktur PD Pontren (dalam pesannya) dan beberapa anggota AHWA, bahwa tim AHWA mengajukan 21 nama calon MM yang merupakan representasi dari berbagai tipe pesantren. Namun, yang diputuskan menteri hanya 9 orang sehingga menunjukkan ketidakadilan dalam menyikapi pesantren.
 
Terakhir dapat disarankan bahwa untuk menjaga dan menata mutu pesantren anggota MM ditambah menjadi 17 orang dan mencerminkan keterwakilan dari berbagai unsur atau tipe pesantren sebagaimana tertuang dalam regulasinya. Sebagai tambahan yang harus diperhatikan menteri adalah bahwa penyusunan regulasi baik pada level UU maupun pada level Peraturan Menteri, sudah merupakan hasil kesepakatan dan sudah dipikirkan bagaimana konsep pengembangannya ke depan. Wallahu A’lam.[]
 
*Praktisi Pesantren dan Presiden Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar kementerian agama pesantren Pendidikan Agama Majelis Masyayikh

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif