DAHULU, tradisi masyarakat kampung jika minum kopi pahit dibarengi dengan kudapan amis-amis berbentuk ampyang, disebut makan makanan manis. Dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan halawah, yaitu makanan manis yang biasa disajikan dalam acara-acara seperti pesta atau jamuan besar atau kenduri.
Kata halawah selain menyifati makanan, juga digunakan untuk menyifati keberuntungan, kesuksesan. Bisa juga berarti pohon (jika berbuah) atau buah-buahan yang manis. Atau, menyifati keselamatan, berupa hadiah dan kesyukuran atas keselamatan.
Dalam konteks religi, halawah juga suka digunakan untuk menyifati kondisi kenikmatan dan ketenangan jiwa. Hal tersebut biasanya dihubungkan dengan iman. Maka, muncul istilah halawatul iman, yang menunjuk pada ketenangan batin sebagai buah dari iman. Bisa juga diungkap dengan kata ‘manisnya iman’.
Rasulullah SAW bersabda, seperti yang diriwayatkan Anas Ibnu Malik: Ada tiga hal yang jika seseorang memilikinya akan mendapatkan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain. Mencintai seseorang karena Allah dan takut untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana takutnya dilempar ke api neraka (HR Buhkari dan Muslim).
Mencintai Allah diwujudkan dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan-Nya. Menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Mencintai Rasulullah sebagai upaya mengikuti perintah Allah SWT dengan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.
Sebagaimana diungkap dalam surat Ali Imran ayat 31: jika kamu sekalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah SAW), maka Allah akan mencintaimu.
Diwujudkan dalam bentuk berpegang kepada ajaran yang dibawanya serta mencontoh akhlak dan perilakunya. Membaca shalawat untuknya dan menyukai para sahabatnya. Serta, tentu saja mengenalnya lebih jauh dengan mempelajari sunah dan hadis-hadisnya. Sehingga, ada kelengkapan informasi tentang kebaikan dan keutamaan sekaligus mengetahui nasihat-nasihat dan pesan-pesan yang beliau sampaikan untuk umatnya.
Berikutnya mencintai seseorang karena Allah. Ini dasar persahabatan dan persaudaraan yang diajarkan Islam. Mencintai karena dasar iman kepada Allah, berarti landasan pertemanan karena seiman dan seagama. Demikian juga sebaliknya jika harus memusuhi, maka yang dilihat adalah alasan memusuhinya itu karena mengharap rida Allah dan menjauhi murka-Nya.
Yang terakhir, harus ada rasa takut terhadap kekafiran sebagaimana takutnya terhadap siksa api neraka. Artinya, kekuatan istiqomah (keteguhan) dalam beriman dan terus berusaha mempertahankannya jangan sampai imannya lepas, dalam kondisi apa pun.
Selain dikaitkan dengan iman, halawah oleh para ulama juga sering dihubungkan dengan salat, jadi halawatu al-shalat. Kalau diterjemahkan bisa berarti ‘manisnya salat’. Bisa juga berarti kenikmatan yang dicapai seseorang dalam mengerjakan salat. Menjawab panggilan azan pada waktu tertentu lima kali dalam satu hari.
Salat juga sebagai upaya untuk mengakui keagungan Allah SWT dan merasakan kepatuhan atas panggilan-Nya. Dengan rasa ketundukan yang tulus lima kali dalam sehari. Berupa komunikasi—kegiatan menghadap—yang dilakukan antara seorang hamba/makhluk dengan penciptanya secara reguler. Hal tersebut dilakukan dengan khusyuk (kesungguhan dan keseriusan) dengan tenang. Dan dilakukan secara terus-menerus (sesuai waktunya). Seperti terungkap dalam surat al-Baqarah ayat 8. Dengan begitu bisa tercapai manisnya (ketenangan yang ditimbulkan karena mendirikan) salat. Sebagaimana orang yang merasa bahagia ketika mencapai kesuksesan yang diidamkannya.
Hal?wah bisa digambarkan sebagai kondisi connecting (terhubung) dengan Allah SWT. Dengan rasa yang begitu dekat. Ini sering terbaca dalam berbagai banner di pinggir jalan di kota Makkah yang menggambarkan suasana hati jemaah haji dan umrah sebagai pengingat: wahai para jamaah umrah, kalian telah merasakan nikmatnya ibadah....
Demikian juga dalam ibadah yang lain seperti puasa yang kaya akan dimensi rasa dalam pelaksanaannya. Halawatul iman. Semoga saja bisa dirasakan dalam berpuasa. Apa lagi ibadah yang satu ini menyarankan untuk berbuka dengan makanan yang manis-manis. Berbagai sajian dan jajanan tersedia sangat meluas. Makanan dan minuman pembuka puasa (takjil) bisa dengan mudah di dapat di sore hari di pinggir jalan.
Boleh jadi hal ini merupakan isyarat bahwa kita harus menggapai sesuatu yang manis dan nikmat melalui puasa itu. Kenikmatan yang tentu saja diharapkan bisa melahirkan kenikmatan berikutnya; nikmat beribadah dan nikmat hidup penuh berkah dan pada gilirannya bisa memberkahi sesama.
*M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di M Tata Taufik
Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat