Dalam situasi sosial yang demikian, dakwah Islam yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw., beliau melakukan komunikasi-komunikasi yang sangat egaliter. Nabi tidak pernah membeda-bedakan kelas sosial. Kepada kelas sosial yang rendah, beliau meninggikan derajatnya. Kepada kelas sosial yang tinggi, Nabi tidak merendahkan. Nabi mengajak semua golongan, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain.
Komitmen sosial yang ditorehkan oleh Nabi tidak hanya sebatas itu. Dalam ranah hukum, Nabi tidak pernah memberi keputusan yang timpang. Nabi selalu mempertimbangkan berbagai faktor sebelum menjatuhkan keputusannya, sehingga Nabi menjadi tempat bertanya dari berbagai kalangan. Bahkan tidak jarang non muslim merasa diperlakukan adil atas keputusan hukum dari Nabi.
Jauh sebelum sosialisme lahir, Islam sudah menancapkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kemerdekaan (hurriyah), persamaan (musawa), pluralitas (ta’adudiyyah), keadilan (‘adalah), toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), moderat (tawazun) dan kebijakan (hikmah). Jadi Islam sebagai agama, sesungguhnya sudah memiliki misi transformasi sosial yang sangat konkrit. Selain itu, Islam, sebagaimana agama-agama lain, juga memiliki seperangkat ritual, seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Fungsi ritual ini seharusnya tidak terpisah dengan misi kemanusian yang telah disebut. Kesalehan yang terpatri kepada setiap pribadi muslim terpancar dari pandangan dan sikapnya yang komitmen terhadap misi Islam, yaitu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, di mana pun dan kapan pun ia berada.
Apabila ditilik dari substansi ajarannya, doktrin Islam sarat dengan muatan-muatan transenden dalam mewarnai realitas sosial. Semangat tahuid, dengan begitu, dapat diartikan sebagai semangat kesatuan, kebersatuan dan persaudaraan dalam lanskap kemanusiaan.Syari’at Islam yang dibangun dari teks tentu saja multi tafsir, beragam pemahaman dan karenanya tidak tunggal.
Secara operasional, doktrin Islam bersumber dari teks-teks yang terus bergumul dengan realitas, sehingga disebut syari’ah. Syari’ah sebagai representasi dari ajaran agama Islam harus mampu menjawab persoalan zaman yang terus berubah-ubah. Perangkat ilmu-ilmu lain semacam sejarah, sosiologi, antropologi, bahkan sains, merupakan suatu kebutuhan demi menyingkap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dari Syaari’, Allah swt.
Syari’at Islam yang dibangun dari teks tentu saja multi tafsir, beragam pemahaman dan karenanya tidak tunggal. Di sinilah kita dihadapkan kepada pilihan rasional yang mana, pilih rasionalitas teks ataukah konteks?
Pilihan berat
Pilihan ini sungguh berat. Di satu sisi, kita tahu teks mengharuskan kita tidak berpihak, alias objektif dan bebas nilai. Namun, pada sisi yang lain, konteks mengharuskan kita berpihak dan tidak bebas nilai.
Apabila kita mau komitmen terhadap perjuangan Nabi tersebut, tentu kita dengan tegas mengatakan memiilih konteks, karena kita akan mengetahui hakikat nilai-nilai Islam yang hidup. Kita menjadi tahu, paham dan memiliki rasa empati yang kuat melihat ketimpangan sosial yang terjadi di depan mata, seperti penghisapan keringat buruh, pelecehan seksual terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, korupsi, manipulasi, permusuhan antar kelompok, hate speech, dan lain-lain adalah bentuk pengingkaran terhadap misi Islam itu sendiri.
Lalu, di mana posisi syari’ah Islam berada? Oleh karena kita menyelami realitas hingga melihat situasi dan gambaran masalah yang sesungguhnya, maka teks-teks syari’ah Islam direproduksi maknanya, bukan direduksi.Perangkat metodologis untuk melakukan itu semua sebenarnya sudah ada dan lengkap.
Dengan begitu, syari’at Islam akan terus mampu berdialog dengan realitas dan berpihak kepada kelompok rentan. Manakala melihat sistem dan struktur sosial yang timpang, kita terpanggil untuk berbuat sesuatu untuk mengubahnya.
Tentu posisi seorang intelektual atau peneliti dalam hal ini semestinya sebagai sosok yang berada di garda terdepan. Di pundaknya, seorang peneliti harus bergerak mencari akar persoalan dan memikirkan bagaimana langkang-langkah untuk menemukan solusi yang tepat bersama kelompok yang tertindas.
Perangkat metodologis untuk melakukan itu semua sebenarnya sudah ada dan lengkap. Salah satunya adalah dengan melakukan Participatory Action Reseach atau yang sering disebut dengan PAR.
Maka apabila ditanya, apakah Islam memiliki metodologi? Menurut saya, jawabanya "ya", yaitu PAR. Mengapa? Karena dengan PAR berarti memiliki paradigma yang jelas, yaitu emancipatory knowledge interest dalam kerangka membangun kesadaran kritis dengan cara-cara yang humanis.
Basis teori yang menjadi landasan PAR adalah teori sosial kritis. Pendekatan yang digunakannya pendekatan partisipatif yang murni untuk mencapai suatu transformasi sosial. Tujuan yang sama dengan misi atau risalah Islam sebagaimana telah disebut.
Dengan demikian, misi peniliti PAR tidak jauh dari misi kenabian, yaitu mewujudkan tatanan kehidupan di dunia yang adil berdaulat dan kehidupan akhirat yang bermartabat.[]
Dede Wahyudin:Duta PAR Kemenag RI, Dosen ISIF Cirebon, dan Founder Fakkir Fahmina
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.

