Presiden RI Joko Widodo bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Foto: Antara/Sigid Kurniawan.
Presiden RI Joko Widodo bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Foto: Antara/Sigid Kurniawan. ()

Membaca Pesan Koalisi lewat Media

28 Januari 2016 11:24
Lely Arrianie, Dosen Komunikasi Politik Universitas Bengkulu,Ketua Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta
 

 
TIDAK ada pesan yang hampa makna dalam politik.
 
Karena apa yang mereka komunikasikan dari kumpulan orang-orang yang mapan secara organisasi politik, dipersatukan dalam satu pandangan serta struktur organisasi, cenderung mengisyaratkan model transaksional dalam bentuk kekuasaan. Karena itu, terlepas dari perbedaan ideologis dari partai-partai koalisi yang kini melingkari kekuasaan, dalam sistem demokrasi yang modern, sesungguhnya partai-partai koalisi juga tengah mempertaruhkan keseluruhan kebenaran komitmen mereka untuk diuji saat pemilu dan pilkada ke depan.
 
Koalisi yang dibangun pascaruntuhnya kesepakatan koalisi sebelumnya melalui pengelompokan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menyisakan ruang dan makna simbolis tentang mekanisme dukungan partai atas kepentingan organisasi dan kekuasaan.
 
Ini seolah melekatkan sifat hubungan yang ambigu antara khalayak pemilih partai melalui pemilu legislatif yang telah mendudukkan orang-orang partai sebagai pemegang mandat keterwakilan.
 
Oleh sebab itulah, pascaterpilih biasanya mereka yang dipilih itu akan sulit diinvestigasi secara empiris untuk menagih janji kampanyenya.
 
Lalu, menjadi mudah membaca arah isi dan tujuan apa pun yang dikomunikasikan sang terpilih pascaketerpilihannya, yakni kekuasaan
 
Koalisi kekuasaan
 
Jokowi menjadi presiden bukan karena ia ialah politikus hebat di partai yang mengusungnya.
 
Bukan karena intelektualitasnya, melainkan karena caranya membangun komunikasi interpersonal yang sederhana, yang menjungkirbalikkan logika publik bahwa komunikasi politik elite ialah yang kaku, penuh seremonial, dan birokratis seolah menjadi syarat utama bagi pemimpin.
 
Ia bukan pemikir besar, melainkan komunikator hebat yang bisa mendefinisikan dan mempertukarkan pesan politiknya lebih pada potongan kalimat yang berisi jeda dan membuat orang menunggu tentang apa yang akan dikomunikasikan selanjutnya.
 
Setelah terpilih menjadi presiden, dia dikelilingi birokrat hebat, politisi andal, pengusaha berkelas, manajer luar biasa, dan orang-orang yang menjadi fosil dalam rekayasa politik kekuasaan yang bermain ingkar ala sinetron dan dramaturgi.
 
Tentu saja hal itu menjadikan kepemimpinannya dan program yang ingin dijalankan dalam kekuasaannya menjadi penuh ingar-bingar meski hanya sekadar menuntaskan perbedaan pandangan atas satu atau dua kasus program yang sejatinya membutuhkan tindakan eksekusi yang cepat.
 
Alhasil, pilihan koalisi seolah menjadi pilihan atas kekuasaannya, menarik sebanyak mungkin dukungan parlemen melalui orang-orang partai yang tiba-tiba ingin membangun koalisi dengan kekuasaan Jokowi.
 
Padahal, dalam kepemimpinan SBY sebelumnya, koalisi yang besar pun tidak menjamin dukungan yang terukur atas program dan kebijakan pemerintah.
 
Media dan kekuasaan
 
Sepanjang fase awal pemerintahan Jokowi, media massa dan sosial seperti menjadi pengawas yang bisa mengompori dan menahan perdebatan isu di panggung kekuasaan politik, seperti ada pola peliputan serupa yang pernah disajikan Glasgow University media Group (1985) dan Brian Mc Nair (1988), meski itu umumnya dilakukan oleh media demokratis yang kapitalis.
 
Media komunikasi politik kekuasaan Jokowi seolah menginterpretasikan kritik media lain yang tidak sejalan.
 
Namun, peran hegemonik media nyata telah dapat mengakomodasi keingintahuan publik tentang terpecahnya kelompok-kelompok elite di partai yang semula bukanlah partai koalisi pendukung.
 
Lalu, dengan enteng partai yang baru masuk menjadi koalisi melanggar konsensus koalisi sebelumnya, dan ini dapat dibaca propaganda media cukup berperan membalik arah koalisi itu.
 
Ini sekaligus membuktikan betapa fleksibilitas media berjalan seiring dengan fleksibilitas politik.
 
Media memberikan adaptasi yang dinamis dan cair bagi kebekuan dan kecairan koalisi yang dikelola oleh kelas atau kelompok kekuasaan politik yang berotasi di dalam partai politik.
 
Jadi, sudah sejak awal terbentuknya koalisi, media sesungguhnya telah menjadi fasilitator wacana politik untuk membuat sebuah partai mendukung atau menarik koalisinya.
 
Ini menjadikan peran media demikian hegemonik. Bukan hegemonik karena kepemilikan, melainkan karena media telah mengakomodasi pesan koalisi untuk dibaca arahnya melalui perdebatan elite yang akhirnya masuk koalisi di lingkaran kekuasaan politik.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase joko widodo

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif