Status mutu kualitas air sungai di seluruh Indonesia sangat memprihatinkan. Demikian hasil pemantauan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sejak 2015 sampai 2022.
Status mutu baik atau yang memenuhi mutu air kelas dua berkisar antara 11% hingga 21% dan cenderung fluktuatif selama periode tersebut. Sementara itu, status mutu air 1,54% hingga 10% masuk ke dalam kategori cemar berat, juga fluktuatif. Sebagian besar status mutu air di Indonesia masuk ke dalam kategori cemar ringan, yaitu berkisar 56,73% hingga 73% serta berfluktuasi juga.
Status mutu air tersebut dihitung menggunakan metode indeks pencemar serta dibandingkan dengan mutu air kelas 2. Mengapa kelas 2? Merujuk Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, apabila Baku Mutu Air badan air belum ditetapkan, maka mengikuti mutu air kelas 2. Penelitian Mochamad Adi Septiono dan Dwina Rosmini (2018) menunjukkan kandungan unsur cadmium (Cd), tembaga (Cu), dan chromium (Cr) ditemukan dalam konsentrasi tinggi di sedimen dan ikan lele di hulu Citarum. Senada dengan itu, penelitian Nurul Fatimah (2020) di estuari Sungai Citarum menunjukkan bahwa kandungan Cd masih baik, timbal (Pb) dan Cu tercemar ringan, dan seng (Zn) tercemar sedang.
Status mutu air sungai di Indonesia periode 2015 hingga 2023
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa logam berat di Sungai Citarum cenderung dalam bentuk partikulat yang mengalami pengendapan. Sebagian kecil larut dalam kolom air. Hal ini memiliki bioavailability yang tinggi terhadap organisme dan dapat berakumulasi pada organisme hidup yang mencari makan di sedimen.
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki pedoman atau kriteria kualitas sedimen. Konsekuensinya, hasil pemantauan tidak bisa dibandingkan dengan pedoman atau kriteria kualitas sedimen yang berlaku di Indonesia.
Cemaran produk farmasi
Indonesia adalah salah satu pasar farmasi dengan pertumbuhan tercepat di Asia. Perkiraan nilai pasarnya sebesar US$10,11 miliar pada 2021 dan telah tumbuh sebesar 85% dari 2007 hingga 2013 (Chapela, 2015).Peneliti BRIN Agus Sudaryanto (2021) menemukan polutan produk kimia sudah mencemari perairan Indonesia, khususnya di Teluk Jakarta. Hal ini dipertegas dengan temuan diethyl toluamide (DEET), senyawa sintetis pengusir serangga paling efektif, tercatat pada level tinggi di sungai-sungai di DKI Jakarta.
Di sisi lain, kandungan zat paracetamol menunjukkan konsentrasi tinggi di wilayah pantai Teluk Jakarta. Penelitian Agus juga memperlihatkan bahwa 20 dari 77 pharmaceuticals and personal care products (PPCPs) terdeteksi di Teluk Jakarta.
Penyebaran DEET menunjukkan bahwa kualitas air di seluruh ekosistem Teluk Jakarta telah tercemar limbah perkotaan. Kondisi seperti ini kemungkinan disebabkan oleh tidak memadainya pengolahan air limbah, baik pada air limbah domestik dan industri, serta pembuangan air limbah langsung pada lingkungan perairan.
Bagaimana memperbaikinya?
Perbaikan kualitas air sungai dapat dicapai dengan cara meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program. Harus pula dilakukan kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran air.Perbaikan kualitas air juga harus bersinergi dengan program dan kegiatan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dan wilayah sungai (WS). Artinya, harus ada kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. Termasuk mengajak masyarakat, dunia usaha, dan para akademisi.
Ketersediaan air dan penggunaan air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perlindungan dan pengelolaan kualitas air. Berkenaan dengan hal tersebut, kajian Bank Dunia pada 2019 menyebutkan, meski sumber daya air pada umumnya melimpah di Indonesia, namun penyebarannya tidak merata.
Saat ini hanya 11% dari pasokan air yang digunakan untuk memenuhi permintaan. Akan tetapi, distribusi air tidak merata di seluruh pulau. Kekurangan air mulai mengancam kegiatan ekonomi utama yang terkonsentrasi di daerah perkotaan.
Mengancam pertumbuhan
Berbicara Pulau Jawa, dari semua sumber daya air yang tersedia, hanya ditemukan sekitar 6% sumber air. Padahal, pulau Jawa adalah rumah bagi 57% penduduk Indonesia. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya kekurangan air di sejumlah wilayah. Di dalam wilayah pulau, ketersediaan sumber daya air bervariasi secara spasial dan temporal.Kini, setengah dari total produk domestik bruto (PDB) dihasilkan dari wilayah sungai yang mengalami kelangkaan air ‘tinggi’ atau ‘parah’ di musim kemarau pada 2019. Jika tidak ada perubahan, diperkirakan dua per tiga (67%) dari PDB akan dihasilkan dari wilayah sungai yang mengalami kelangkaan air yang sangat tinggi atau sangat parah pada 2045.
Dampak buruknya kualitas air sudah dirasakan oleh masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Masyarakat di kota-kota besar Indonesia bahkan masih menggunakan air untuk kegiatan domestik mereka. Akibatnya, prevalensi masyarakat yang menderita penyakit akibat tercemarnya sumber air (water borne deseases) cukup tinggi.
Penyakit diare, korela, disentri, tipus, dan penyakit kulit saat ini menyebabkan masyarakat dan pemerintah harus mengeluarkan biaya sekitar Rp58 triliun per tahun untuk berobat dan biaya akibat kehilangan penghasilan karena sakit. Di samping itu, tercemarnya sumber air menyebabkan masyarakat harus membayar air bersih rata-rata 25% lebih mahal karena tingginya biaya pengolahan air bersih.
Apabila pencemaran air ini tidak segera dikendalikan, maka dampak yang diterima masyarakat menjadi beberapa kali lipat dibandingkan saat ini. Artinya, masyarakat dan pemerintah akan kehilangan uang lebih dari Rp100 triliun per tahun akibat water borne diseases. Biaya air bersih pun bisa meningkat 50% dari yang seharusnya.
Lebih jauh lagi ketahanan pangan (food security) akan terancam karena sumber air yang mengairi lahan pertanian telah tercemar dan tak memenuhi mutu air untuk pertanian. Begitu pula pengoperasian dan pemeliharaan PLTA akan membutuhkan biaya 100% lebih tinggi akibat tercemarnya sumber air. Hal ini tentu akan mengancam keamanaan energi (energi security), khususnya penyediaan energi terbaharukan.
Mengganggu Visi Indonesia 2045
Pada Visi Indonesia 2045, pemerintah menetapkan target menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kelima di dunia. Nilai PDB ditargetkan mencapai US$7,3 triliun dan pendapatan per kapita mencapai US$25.000. Kajian Bank Dunia 2019 menegaskan, untuk mencapai Visi 2045, diperlukan tingkat pertumbuhan PDB tahunan rata-rata sebesar 5,7%.Masalahnya, apabila ancaman terkait air tetap tidak tertangani, kemungkinan PDB akan mengalami penurunan sebesar 7,3% pada 2045. Dan hal ini mengakibatkan target pemerintah dalam bahaya.
Ancaman terkait air yang dinilai memiliki dampak terhadap PDB antara lain pencemaran air akibat cakupan air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) yang tidak memadai dan dampak kekurangan air. Studi Bank Dunia lainnya menyatakan bahwa pencemaran air di hulu mengurangi PDB hilir.
Konsentrasi BOD melebihi 8 mg/l akan menyebabkan pertumbuhan PDB di daerah hilir turun secara signifikan sebesar 1,16 poin. Dengan perkiraan pertumbuhan PDB sebesar 4,8% pada 2021 (disesuaikan dengan dampak COVID-19), maka sekitar seperempat pertumbuhan telah hilang.
Selanjutnya, pencemaran air dapat berefek merugikan langsung pada sektor pariwisata Indonesia dan daerah yang bergantung padanya.
Oleh karena itu, persoalan pencemaran air, baik itu di perairan sungai, air tanah, maupun laut perlu segera mendapat perhatian serius. Tidak hanya pemerintah, namun juga masyarakat hingga dunia usaha.[]