Pidato perdananya tanpa teks selama 58 menit. Sepanjang pidato Presiden Ke-8 RI Prabowo Subianto berkali-kali mendapat tepuk tangan meriah hingga standing applause dari peserta sidang paripurna MPR.
Kemeriahan juga tak hanya di gedung parlemen Senayan. Di sejumlah tempat yang digelar nobar alias nonton bareng atau di kedai-kedai pinggir jalan, warga sependapat dengan apa yang disampaikan mantan Danjen Kopassus itu. "Mantap, pidatonya menggebu-gebu, seperti Presiden Sukarno," ujar seorang warga di Cikampek, Karawang, Jawa Barat.
Baca:Janji Berani Perangi Korupsi |
Secara substansi Ketua DPR RI Puan Maharani menilai apa yang disampaikan Prabowo ekuivalen dengan ajakan Presiden Pertama RI Sukarno. “Membangun Indonesia itu harus bergotong royong, seperti yang disampaikan Bung Karno dan tadi disampaikan juga oleh Pak Prabowo,” ujar Puan.
Dalam pidatonya hampir satu jam itu, setidaknya lima poin yang ditegaskan Prabowo, yakni mendukung kemerdekaan Palestina, bahaya korupsi, swasembada pangan, persatuan dan demokrasi, serta penghapusan kemiskinan. Prabowo sudah resmi memimpin 280 juta rakyat Indonesia. Rakyat bisa melihat visi dan misinya sebagai pemimpin dalam pidato perdananya yang dihadiri sebanyak 33 kepala negara itu.
Pidato Prabowo tak jauh dari apa yang tertulis dalam bukunya, yakni Paradoks Indonesia. Buku itu diluncurkan bertepatan dengan deklarasi dukungan Koalisi Buruh Jakarta kepada pasangan calon gubernur dan wakilnya, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, di Kantor DPP Gerindra, Jakarta, Sabtu, 1 April 2017.
Buku setebal 184 halaman itu sudah memasuki edisi cetakan ketiga pada 2022. Dalam buku itu Prabowo mengutarakan kegalauannya pada dua hal, pertama ekonomi Indonesia yang dikuasai segelintir kalangan, bahkan mengalir deras ke luar negeri. Sistem ekonomi Indonesia menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945. "Yang menikmati ekonomi hanya 1% rakyat," tandasnya.
Kedua, demokrasi dikuasai pemodal besar. Para pemodal bisa membeli suara rakyat sehingga marak politik uang. "Jika demokrasi dikuasai oleh pemodal besar, sangat kecil kemungkinan negara Indonesia memiliki lapis kepemimppinan yang dapat berdiri tegak dan mengambil keputusan-keputusan yang tepat," ujarnya.
Kini, Prabowo berhadapan langsung dengan paradoks yang pernah ditulisnya. Tak ada yang sulit baginya untuk untuk menciptakan perubahan. Modal politik 58,59% hasil Pemilu 2024 memberikan legitimasi kepada Prabowo-Gibran untuk membuat kebijakan-kebijakan untuk melawan paradoks yang menyelimuti Republik ini.
Belum lagi dukungan politik dari Koalisi Indonesia Maju Plus (Partai NasDem, PKS, dan PKB) yang bisa membuat pemerintahan Prabowo 'menyala' di parlemen. Dari 580 anggota DPR RI periode 2024-2029, 470 anggota di antaranya berada dalam gerbong KIM Plus. Hanya PDIP yang ditinggalkan dalam gerbong besar di Senayan itu.
Penguasaan mayoritas Prabowo di parlemen bak pisau bermata dua. Di satu sisi efektif untuk pengambilan keputusan, tetapi di sisi lain bisa mendatangkan mudarat apabila ketuk palu di parlemen tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Era pemerintahan Jokowi yang kedua, misalnya, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak publik karena akan melemahkan lembaga antirasuah tetap berjalan dengan mulus dan secepat kilat. Akibatnya, KPK babak belur, penuh drama, dan tidak lagi menjadi kebanggaan rakyat dalam memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Prabowo tak mudah melawan paradoks yang ditulisnya. Paradoks yang selalu dikumandangkan sejak ikut kontestasi pada Pemilu 2019. Politik akomodasi dengan dalih gotong royong membuat kabinet tambun, yakni 48 kementerian yang terdiri dari tujuh kementerian koordinator dan 41 kementerian teknis, akan melahirkan kerumitan dalam mengorkestrasi para pembantunya.
Jumlah kementerian era Prabowo melompat dari era Jokowi yang berjumlah 34 kementerian. Kabinet Merah-Putih yang gemuk dengan sejumlah kementerian yang dipecah-pecah membutuhkan waktu untuk koordinasi, komunikasi, dan konsolidasi. Belum lagi pembengkakan kabinet itu akan berkonsekuensi pada ledakan anggaran.
Dengan kondisi itu, berat rasanya Prabowo bisa lekas melenyapkan paradoks Indonesia. Namun, kata Norman Schwarzkopf, jenderal Amerika Serikat (1934-2012), kepemimpinan ialah kombinasi yang kuat dari strategi dan karakter.
Kita tunggu strategi dan kepemimpinan yang berkarakter dari Prabowo, jenderal purnawirawan mantan pasukan elite. Tabik!