DUA kabar buruk terkait dengan pemberantasan korupsi datang dalam dua pekan ini. Kita yang semestinya berderap maju, justru memperlihatkan kesan mundur dalam perang melawan rasywah itu.
Kabar buruk pertama adalah indeks persepsi korupsi (IPK) kita pada 2020 anjlok 17 tingkat ke peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai Transparency International. Indonesia mendapatkan skor 37 atau turun tiga poin dari 2019. Skor 37 ini sama dengan raihan 2016.
Kabar buruk kedua datang dua hari silam. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan mayoritas pelaku usaha beranggapan bahwa korupsi di Tanah Air semakin meningkat dalam dua tahun terakhir.
Dalam jajak pendapat yang melibatkan 1.000 responden itu, mayoritas atau 58,3% menilai terjadi peningkatan korupsi. Hanya 8,5% yang menganggap ada penurunan, dan 25,2% berpendapat tidak ada perubahan.
Disebutkan pula bahwa persepsi negatif pelaku usaha terhadap pemerintah masih tergolong tinggi. Terdapat 31,7% yang menganggap aparat negara/pemerintah hanya mau bekerja jika diberi hadiah.
Hasil penilaian dan jajak pendapat tersebut memang masih dalam tataran persepsi. Ia belum tentu sesuai fakta, tapi bisa juga mencerminkan fakta sebenarnya.
Hasil penilaian pelaku usaha terhadap korupsi di Tanah Air bukanlah karangan semata, apalagi halusinasi. Mereka yang dimintai pendapat adalah para pelaku yang menghadapi langsung aparat negara dengan beragam perilaku.
Artinya, hasil survei bahwa mayoritas pelaku bisnis menganggap korupsi kian meningkat dalam dua tahun terakhir sangat mungkin sesuai kenyataan. Pun demikian dengan anggapan masih tingginya aparat negara hanya mau bekerja jika diberi imbalan.
Meski hanya persepsi, hasil survei tersebut pantang dianggap main-main. Ia adalah temuan yang perlu disikapi dengan serius, sangat serius. Harus ada upaya luar biasa dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengatasi korupsi di negeri ini.
Berulang kali melalui forum ini kita menyuarakan bahwa korupsi hanya bisa diatasi jika semua pihak satu hati. Kita mustahil menang perang jika masih ada penegak hukum yang kompromistis terhadap pelaku korupsi.
Korupsi bisa dicegah dengan pembenahan sistem rekrutmen aparatur sipil negara yang transparan guna memastikan mereka yang diterima berintegritas dan tak koruptif. Pencegahan juga dapat dioptimalkan dengan mengedepankan sistem merit dalam mengelola ASN.
Penindakan tak kalah penting. Bahkan, di saat korupsi sudah begitu marak di semua lini kehidupan, penindakan menjadi sangat penting. Dalam ilmu militer dan sepak bola modern berlaku filosofi bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang. Pun demikian dalam menghadapi korupsi yang sedemikian masif, menyerang koruptor habis-habisan akan memberikan bangsa ini pertahanan yang kukuh.
Harus kita akui, pemerintah sudah banyak melakukan upaya penguatan sistem pencegahan korupsi. Namun, tak bisa disanggah, upaya itu masih jauh dari formula ideal untuk menutup celah terjadinya korupsi.
Harus kita akui, memang ada penegak hukum yang garang dalam menindak korupsi. Namun, tak bisa disangkal, masih banyak yang masih suka berbaik hati kepada pelaku korupsi. Mereka yang semestinya menuntut dan menjatuhkan vonis berat, malah gemar memberikan hukuman ringan. Obral diskon hukuman buat koruptor pun kian gencar dilakukan.
Hasil survei LSI merupakan peringatan nyata, sangat nyata, bahwa upaya kita dalam memerangi korupsi masih jauh dari syarat untuk mendapatkan kemenangan. Ia harus menjadi cambuk bagi para pemangku kepentingan untuk berbenah habis-habisan agar kabar buruk tak semakin buruk.
*Editorial Media Indonesia Selasa, 9 Februari 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di
