Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar (Media Indonesia/Ebet)
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar (Media Indonesia/Ebet) (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Menghidupkan Dialog

Abdul Kohar • 12 Februari 2022 05:53

Saya jadi ingat bagaimana dulu Orde Baru menutup ruang dialog dalam ‘bernegosiasi’ dengan warganya. Akibatnya, kata ‘pembangunan’ yang ditiupkan bak mantra oleh negara, bagi masyarakat kerap diidentikkan dengan perampasan, penggusuran, dan pengambilalihan hak secara paksa.
 
Dalam berbagai kasus, atas nama pembangunan, jatuhlah korban jiwa di kalangan warga, seperti di Kedungombo, di Nipah, di Cimacan, dan beberapa tempat lainnya. Kita sudah bermufakat mengakhiri episode sejarah kelam seperti itu.
 
Saat era berganti, kita juga sudah disodori kisah sukses bagaimana kesabaran mengelola dialog itu bisa berbuah manis. Itulah, misalnya, yang dilakukan Jokowi saat menjadi Wali Kota Surakarta.
 
Jokowi bermaksud merevitalisasi kawasan Banjarsari menjadi zona hijau. Caranya dengan merelokasi ratusan pedagang barang bekas di wilayah tersebut. Tiga wali kota sebelum Jokowi ‘angkat tangan’ saat harus memindahkan ratusan pedagang itu. Jokowi mengembangkan dialog dengan cara mengundang para pedagang makan bersama. Tidak cukup sekali atau 10 kali, tapi hingga jamuan makan ke-54, barulah titik temu itu terjadi.
 
Saat eksekusi tiba, tidak ada satu pun pedagang yang menolak relokasi. Padahal, awalnya semua pedagang menolak dipindahkan, bahkan dengan ancaman akan membakar kantor wali kota bila relokasi itu tetap dilakukan. Alih-alih kerusuhan, relokasi bahkan dirayakan dengan karnaval seni bak acara perayaan kebudayaan. Tidak ada bedil, parang, pentungan, dan gas air mata. Yang bersemi justru taburan cinta.
 
Di Surakarta, Jokowi dan warga menciptakan sejarah dengan memutar haluan stigma buruk pembangunan warisan Orba. Bahasa pemaksaan digeser dengan bahasa dialog. Perintah diganti dengan mendengar, mendengar, dan mendengar.
 
Tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Semuanya setara, punya hak mendengar dan bicara.
 
Ruang dialog publik berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesetaraan itu pun terbukti ampuh mengelola perbedaan. Dalam ruang seperti itu, tidak ada lagi yang kuat menindas yang lemah atau mayoritas menyingkirkan minoritas.
 
Pun, tidak ada yang tertinggal atau ditinggalkan. Kasus di Wadas kiranya menjadi cermin siapa pun untuk kembali memperluas ruang dialog. Pula, memperkuat energi kesabaran untuk mencapai titik temu.
 
Negara mesti memandang warga, baik yang pro maupun kontra pembebasan lahan, sebagai subjek, bukan objek.
 
Jika subjek ketemu dengan subjek, yang terjadi ialah dialog intersubjektif. Ujung-ujungnya terjadi titik temu. Muncul bahasa kalbu. Tercipta bahasa cinta.
 

 
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar polri Desa Wadas Ruang Dialog Keragaman

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif