Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. MI/Ebet (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Ndak Tentu

Abdul Kohar • 11 Januari 2023 06:02
DALAM sejumlah forum diskusi terbatas dan kecil-kecilan, mulai mengemuka kebingungan orang tentang cara pandang pemerintah terhadap ancaman resesi ekonomi global tahun ini. Kebingungan itu dipicu perspektif pemerintah yang berubah-ubah dalam menyikapi ancaman krisis: pada saat tertentu sangat optimistis, kali lain sangat pesimistis.
 
Saat menanggapi kian banyaknya orang yang mengkhawatirkan dampak krisis global terhadap ekonomi Indonesia, rata-rata pejabat kita meminta publik untuk tidak cemas. Ekonomi kita, kata mereka bak kor paduan suara, relatif tahan terhadap badai krisis.
 
Sambil mengutip prediksi lembaga-lembaga keuangan internasional, sejumlah pejabat berujar ekonomi kita tahun ini tetap tumbuh. Angka pertumbuhannya pun diprediksi tidak jauh meleset ketimbang capaian pada 2022, di kisaran 5%.
 
Selain itu, pengelolaan APBN kita selama 2022 menunjukkan negeri kita cenderung baik-baik saja. Lihatlah defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022 yang bisa dijaga di bawah 3% (tepatnya 2,38%) dari produk domestik bruto (PDB). Capaian itu lebih rendah daripada defisit pada 2021 yang 4,57%. Defisit APBN 2022 tersebut ditutup lebih rendah daripada target Perpres 98/2022 yang membolehkan hingga 5%. Oleh karena itu, defisit APBN 2023 juga dirancang mentok di angka 3% dari PDB.
 
Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2022 juga diprediksi berada di atas 5%. Angka inflasi pun, kendati lebih tinggi daripada target pemerintah di awal 2022, tetap terjaga di angka yang masih bisa dimaklumi. Dengan melihat tren harga-harga yang terus mendaki, ditambah penaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan nonsubsidi, capaian angka inflasi 5,1% pada 2022 masih tergolong terkendali.
 
Belum lagi surplus perdagangan yang terus-menerus terjadi. Angka surplusnya bahkan kerap memecahkan rekor. Itu masih ditambah-tambah lagi dengan rezeki nomplok kenaikan harga komoditas dunia, misalnya batu bara, yang melonjak berlipat-lipat dalam kurun delapan bulan terakhir. Jadilah anggaran negara jauh dari kata 'kekeringan likuiditas'.
 
Karena itu, fakta-fakta yang dibeberkan itu menjustifikasi argumentasi bahwa ekonomi kita cukup tahan banting. Itu bisa dimaknai, selain publik tidak perlu cemas, kondisi objektif meneguhkan ekonomi kita tidak berada dalam situasi gawat darurat. Tidak ada yang genting.
 
Namun, pandangan optimistis seperti itu tidak mendapat ruang yang cukup saat pemerintah bicara tentang lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Baik Menko Perekonomian Airlangga Hartarto maupun Menko Polhukam Mahfud MD banting setir menjadi sosok-sosok penguar pesimisme. Keduanya tangkas berargumen bahwa syarat kegentingan dan kedaruratan bagi lahirnya perppu sangat terpenuhi.
 
Kedua pejabat itu menyebut begitu gentingnya situasi akibat adanya the perfect storm, badai yang sempurna akibat krisis ekonomi global. Ada krisis sisa pandemi yang belum selesai. Ada krisis geopolitik serangan Rusia ke Ukraina, yang diikuti krisis energi, krisis pangan, inflasi, dan krisis keuangan.
 
Situasinya digambarkan seolah-olah sangat mencekam. Perumahan pekerja dan PHK di mana-mana karena barang industri teronggok di gudang setelah negara tujuan ekspor memangkas impor dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Alih-alih mencari pasar baru yang memang sulit, pemerintah memilih menerbitkan perppu untuk mengantisipasi PHK.
 
Perppu juga diyakini pemerintah bakal menjadi obat cespleng mendatangkan investasi. Target investasi masuk ke negeri kita tahun ini memang tidak main-main, sekitar Rp1.400 triliun.
 
Ada yang secara sinis menyebutkan Perppu Cipta Kerja itu dirancang agar ramah investasi, tapi membuat marah pekerja di dalam negeri. Proses kelahirannya yang tidak demokratis (karena perppu memang 'ditakdirkan' lahir tanpa harus melibatkan partisipasi publik) membuat perppu itu penuh kontroversi.
 
Lebih-lebih, syarat kegentingan dan kedaruratan perppu belum terpenuhi. Gambaran umum ekonomi kita yang belum amat sangat gawat (yang diakui juga oleh pemerintah) dianggap sebagai syarat mutlak yang tidak terpenuhi itu.
 
Berubah-ubahnya pandangan pemerintah ihwal dampak krisis ekonomi global terhadap kita mengingatkan saya pada humor orang Madura pada era Orde Baru. Pada era itu, sebagaimana tertulis dalam kumpulan humor Mati Ketawa ala Madura, setiap orang Madura ditanya siapa Presiden RI, jawabnya, "Ndak tentu, Dek. Dang-kadang Harmoko (waktu itu menteri penerangan), dang-kadang Jenderal LB Moerdani (Panglima ABRI)."
 
"Loh, lalu Pak Harto itu apa?" sang penanya penasaran. Dijawab orang Madura itu, "Lha, kalau Pak Harto itu raja."
 
Jangan-jangan, kalau pertanyaan seperti itu, misalnya bagaimana situasi ekonomi kita tahun ini, ditanyakan kepada pejabat kita, jawabnya sama: Ndak tentu. Kadang-kadang cerah, kadang-kadang gelap. Tergantung mau tanya terkait optimisme capaian ekonomi atau kegawatan yang jadi syarat lahirnya perppu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Resesi ekonomi Perppu Ciptaker UU Cipta Kerja

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif