PENANGKAPAN salah satu eks pentolan FPI, Munarman, pada Selasa, 27 April 2021, atas dugaan keterlibatannya dalam tidak pidana terorisme hingga kini masih menyisakan perdebatan di ruang publik. Banyak yang mendukung penangkapan, tak sedikit pula yang menolak.
Sayangnya, ekspresi dari kedua pihak itu mayoritas didasari emosional semata. Semestinya yang kita lakukan ialah berbasis pada hukum dengan mengikuti perkembangan penangkapan itu secara saksama.
Harus diakui, ini memang tidak seperti penangkapan terduga/tersangka teroris yang biasa. Atribusi Munarman sebagai mantan Sekretaris Umum FPI, organisasi yang kini sudah dilarang pemerintah, tentu akan menjadi bahan yang kuat bagi sebagian orang untuk menarik-narik topik penangkapan ini sebagai isu politik.
Padahal seharusnya kita tetap menempatkan penangkapan Munarman ini dalam keranjang isu terorisme, sesuai yang dituduhkan polisi kepadanya. Kita percaya polisi yang menduga Munarman terlibat dalam baiat (pengambilan sumpah setia) kepada kelompok teroris, yang digelar di Jakarta, Makassar, dan Medan, telah mengantongi setidaknya dua alat bukti kuat sebelum mereka menangkapnya.
Polisi, menurut hukum, tentu saja punya kewenangan menangkap. Kalaupun ada pihak yang meragukan itu atau menilai tindakan Densus 88 Antiteror Mabes Polri dalam penangkapan tersebut berlebihan, sewenang-wenang, dan tak sesuai aturan, kita mesti ingat bahwa Munarman sebagai subjek yang dikenakan tindakan mempunyai hak untuk menguji tindakan polisi itu. Salah satunya melalui gugatan praperadilan.
Munarman mungkin bukan pelaku teror secara langsung, tapi bila menilik tuduhan serius terhadapnya yang ikut dalam kegiatan pembaiatan kelompok teroris, itu bisa diartikan dia ikut 'menciptakan' teroris-teroris baru. Itulah yang mesti dibuktikan benar atau tidaknya. Pengadilanlah tempatnya.
Dengan meletakkannya pada koridor hukum, publik tak perlu lagi bertengkar dan menarik-nariknya ke dalam persoalan politik. Dengan rela diperiksa, ini sebetulnya kesempatan bagi Munarman untuk menunjukkan apakah ia bersalah atau tidak. Sebaliknya, polisi juga punya tempat untuk membuktikan apakah tindakan mereka memang sesuai aturan atau hanya pesanan politik.
Namun, jauh di atas itu, sesungguhnya benang merah dari kasus ini ialah terorisme. Kita sudah lama memiliki mimpi dan tujuan yang sama, yaitu menumpas terorisme yang kita tahu amat sulit dicegah jika tidak ada kerja sama dari semua elemen bangsa. Tak selayaknya bila kepingan-kepingan dari isu besar terorisme, seperti penangkapan Munarman, malah mendistorsi tujuan besar tersebut.
Kejadian beberapa waktu belakangan, seperti bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, dan penyerangan Markas Besar Polri di Jakarta, semestinya menyadarkan kita untuk semakin membulatkan fokus dalam peperangan melawan terorisme. Setiap kejadian teror ialah penegasan bahwa kita, terutama aparat keamanan, pantang lengah.
Mengendurkan kewaspadaan terhadap ancaman terorisme akan menjadi awal mula kekacauan teror yang semakin besar. Karena itu, fokus adalah kunci. Jangan pernah lalai dan kehilangan fokus. Jangan karena kita terlampau gaduh merespons penangkapan Munarman, misalnya, konsentrasi aparat dalam mengantisipasi serangan teror menjadi lunglai.
Ingatlah sebuah teori tentang terorisme internasional: hampir tidak ada negara yang mampu menjamin dirinya bebas dari terorisme, tetapi negara yang lemah dan lalai punya peluang lebih besar menjadi sarang terorisme. Apakah kita termasuk negara yang lemah dan lalai? Kita sendiri yang harus membuktikan kalau negara kita tidak seperti itu.
*Editorial Media Indonesia, Kamis, 29 April 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di