Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan pidato di depan Ketua DPD Partai Demokrat se-Indonsia di Gedung DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Minggu (07/03/2021). Foto: MI/Susanto
Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan pidato di depan Ketua DPD Partai Demokrat se-Indonsia di Gedung DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Minggu (07/03/2021). Foto: MI/Susanto (Syah Sabur)

Syah Sabur

Jurnalis Senior

Huru-hara Demokrat: Jenderal vs Mayor

Syah Sabur • 08 Maret 2021 13:27
HURU-HARA yang terjadi di Partai Demokrat (PD) langsung menjadi trending dalam beberapa hari ini, baik di media sosial maupun media mainstream. Huru-hara ini melibatkan seorang jenderal (purn), yang juga mantan Panglima TNI, dan masih menjabat Kepala Kantor Staf Presiden dan seorang mayor (purn). Moeldoko versus Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
 
Dari sisi usia, keduanya juga terpaut jauh, ibarat ayah dan anak. Dari sisi pengalaman pun, baik militer maupun politik, keduanya bagai langit dan bumi. Bisa dianggap seorang veteran bangkotan menghadapi anak bau kencur.
 
Dari sisi usia, sepantasnya AHY menyapa Moeldoko dengan sebutan Bapak. Tapi yang terjadi, AHY menyapa Moeldoko dengan sebutan saudara Moeldoko. Hal itu terjadi karena Moeldoko merendahkan martabatnya sendiri di depan anak muda bau kencur itu.
 
Saya sendiri sebetulnya bukan pengamat politik. Meskipun demikian, rasanya tidak perlu jadi pengamat politik untuk bisa membaca peristiwa politik yang vulgar tersebut. Sekadar catatan, saya juga bukan simpatisan, apalagi kader yang pernah mengantar Susilo Bambang Yudhoyono jadi RI-1. Saya hanya gemes melihat akrobat politik yang tidak lucu. Mengapa vulgar? Sebab, peristiwa itu begitu telanjang dilihat publik. Seorang pejabat tinggi di ring satu Presiden Jokowi secara ugal-ugalan tiba-tiba mengambil alih jabatan Ketum PD lewat kongres luar biasa (KLB) yang amat diragukan keabsahannya.
 
Moeldoko memang bukan kader PD dan tidak ada kaitannya dengan partai tersebut. Kartu tanda anggota (KTA) dan jaket partai dibuat dadakan. Selain itu, menurut berbagai pihak, KLB pun tidak dihadiri ketua DPD. Ketua DPC yang hadir konon hanya 20 orang. Pemilihannya pun secepat kilat, kurang dari satu jam setelah KLB dibuka. Luar biasa!
 
Awalnya Moeldoko membantah dirinya dituduh akan meng-kudeta PD. Panglima TNI di era SBY itu mengklaim hanya ngopi-ngopi dengan sejumlah kader PD yang curhat tentang kondisi internal partai.
 
Kudeta ini juga menimbulkan pertanyaan, apakah Presiden tidak tahu bahwa Moeldoko akan melakukan akrobat politik? Sebab, seorang pejabat tinggi selevel Kepala KSP tentu akan minta izin Presiden jika akan melakukan sesuatu yang penting. Jangankan mau menduduki posisi ketum partai, wong sekadar mau menikahkan anak, niscaya pejabat tersebut minta izin Presiden. Apalagi berniat merebut posisi ketum lewat KLB.
 
Pertanyaannya, saat Presiden tahu, mungkinkah izin akan turun begitu saja? Lalu untuk apa pula seorang Kepala KSP cawe-cawe di partai milik orang lain ketika negara sedang fokus menangani covid-19?
 
Aksi Moeldoko juga merusak tatanan demokrasi, ketika pemerintah campur tangan ke dalam urusan rumah tangga partai lain. Intervensi penguasa terhadap parpol di berbagai rezim memang lazim terjadi. Tapi, caranya lebih halus, tidak sekasar yang terjadi di PD saat ini.
 
Intervensi penguasa terhadap parpol yang paling fenomenal terjadi di era Soeharto. Saat itu Soeharto ingin menggeser posisi Megawati dari pucuk pimpinan PDI. Tapi, Soeharto tidak memakai tangan pejabat tinggi negara, melainkan cukup memakai tangan Soerjadi yang tak lain seteru Mega di partai.
 
Memamg belum ada bukti sahih bahwa langkah Sang Jenderal direstui atau atas perintah Presiden Jokowi. Tapi, belum ada bukti juga bahwa Jokowi mencegah aksi Moeldoko.
 
Kalau Jokowi tidak setuju, mestinya ada teguran sangat keras untuk Moeldoko. Bahkan, pemberhentian Moeldoko menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan.
 
Memang pemerintah tidak dapat melarang KLB dengan alasan kebebasan berpendapat. Tapi, Presiden bisa dan harus melarang anak buahnya mengintervensi partai lain. Apalagi untuk merebut posisi ketum walaupun dengan alasan parpol tersebut mengalami krisis kepemimpinan. Pemerintah juga bisa melarang orang berkumpul dalam jumlah banyak dengan alasan pandemi. Sayang, hal itu tidak terjadi dan KLB di Deli Serdang itu melenggang dengan tenang.
 
Lalu untuk apa pula Moeldoko merebut posisi Ketum PD? Betulkah dia ngebet untuk menjadi capres pada Pilpres 2024? Bukankah sejauh ini namanya berada di luar 10 besar kandidat bakal calon Presiden 2024 versi beragam sumber?
 
Atau betulkah Moeldoko sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar ketimbang sekadar Pilpres? Nah, untuk urusan soal ini, biarlah para pakar dan pengamat yang membahasnya. Untuk sementara, kita tunggu saja hasil pertarungan antara Jenderal dan Mayor, antara 'ayah dan anak' tersebut.[]
 
*Syah Sabur adalah Jurnalis Senior. Pernah bekerja di Metro TV dan Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar partai demokrat presiden jokowi kongres partai demokrat

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif