Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan berpidato dalam penutupan Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, Senin (2/3). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/pd/15.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan berpidato dalam penutupan Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, Senin (2/3). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/pd/15. (Pangi Syarwi Chaniago)

Pangi Syarwi Chaniago

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

PAN: Antara Partai Reformis vs Partai Oligarki

Pangi Syarwi Chaniago • 22 Januari 2020 10:30
GELARAN kongres Partai Amanat Nasional (PAN) yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat menjadi ujian konsistensi bagi partai dan seluruh kadernya. PAN sebagai anak kandung reformasi punya beban moral untuk terus memperjuangkan nilai dan etika serta agenda reformasi.
 
Elite partai terutama pendiri, dewan pembina dan mantan Ketua Umum PAN, Amien Rais menjadi figur sentral yang kini diuji untuk memastikan diri dan partainya agar tidak terjebak ke dalam tradisi feodalisme dan menguatnya sistem oligarki kepartaian yang kini hampir melanda semua partai politik di Indonesia.
 
Oligarki dan feodalisme adalah benalu demokrasi yang seharusnya dibuang jauh dari tubuh partai politik, sehingga penguatan demokrasi di internal partai politik adalah sebuah keniscayaan. Amien Rais sebagai tokoh senior harus memastikan penguatan demokrasi di internal partai berjalan baik.
 
Regenerasi kepemimpinan Salah satu kata kuncinya adalah memastikan regenerasi/suksesi kepemimpinan partai terus berjalan secara regular. Bukan saja memastikan partai berperan aktif melahirkan kader-kader terbaik melainkan juga memastikan membuka jalan bagi kader terbaik untuk tampil memimpin/menahkodai kapal PAN tanpa ada hambatan dari para senior yang ingin mempertahankan status quo.
 
Namun kader PAN juga harus jeli membaca situasi dan dinamika politik terkini. Sebab, sistem politik dan sistem Pemilu telah menjadi pemicu menguatnya personalisasi di setiap level kepemimpinan politik, termasuk partai politik.
 
Dengan demikian, keberadaan tokoh/figur sentral dalam sebuah partai akan sangat mepengaruhi performa partai politik. Namun sebagian partai justru salah mengartikannya dengan melanggengkan kepemimpinan seorang tokoh dan menghambat terjadinya regenerasi di internal partai.
 
PAN kini ada di persimpangan jalan, apakah tetap konsisten dengan nilai, agenda dan tradisi politik mazhab "partai reformis" atau ikut ikutan terjangkit "virus oligarki" yang sama. Amien Rais adalah sosok yang punya beban moral dan tanggung jawab bagaimana memastikan PAN tetap pada trayek partai reformis.
 
Pengaruh Amien Rais
 
Di sisi lain kongres kali ini adalah pembuktian tesis apakah masih kuat pengaruh/cengkeraman Amien Rais di partai berlambang matahari yang pernah didirikannya tersebut? Adanya upaya memperlemah bergaining position Amien Rais sebagai figur sentral dalam partai adalah kesalahan fatal. PAN tanpa Amien Rais akan kehilangan semangat juang dan disorientasi.
 
Upaya memosisikan diri berkonflik dengan Amien Rais oleh sebagian atau segelintir elite yang ingin berebut kursi ketua umum tentu sangat kontraproduktif dalam upaya membesarkan partai. Maka jalan kompetisi yang demokratis tanpa saling meniadakan dan menyingkirkan adalah pilihan paling realistis.

Partai politik harusnya menjadi partai yang moderen, tidak lagi bergantung pada satu tokoh sentral/figure. Ketergantungan pada figur ini hampir semua merata terjadi di parpol kita.


Namun sayang, lepas dari perangkap rezim otoriter Soeharto, partai bukannya beranjak menjadi moderen, malah menjadi elitis sekaligus figur sentris. Partai beramai-ramai bergeser menjadi partai feodal dan relasi patron-klien, menjadi elitis dan membangun DNA oligarki kepartaian.
 
Jualan partai pada pemilu bukan program atau ideologi partai namun gula-gula, figur populis, uang dan politik identitas. Partai juga belum tumbuh menjadi partai moderen berbasiskan nilai-nilai demokratis.
 
Ancaman oligarki
 
Oligarki mengancam, partai mulai berani memunggungi demokrasi, elite partai mulai meneriakkan slogan-slogan antidemokrasi, menganggapnya sebagai sistem politik yang mahal, tidak efisien, dan mengidap bahaya politik identitas. Yang mereka kecam harusnya oligarkinya, bukan demokrasinya.
 
Partai hari ini cenderung menguat ke oligarki dan kartelisasi seperti PDIP, Gerindra atau partai Demokrat. Sepertinya beberapa partai papan tengah juga akan ikut-ikutan, hampir tidak terjadi pertukaran elite secara reguler, bahkan anaknya sudah disiapkan untuk mengantikannya. Parpol pun dikelola tidak ubah seperti mengelola perusahaan keluarga.
 
Menurut Juan Linz (1996), sebuah ciri khas partai demokrasi prasyarat mutlaknya adalah melakukan pergantian kekuasaan elite secara teratur, berpindah tangan dan terjadi pembatasan kekuasaan pada struktur kepemimpinan partai politik. Seharusnya partai juga menyiapkan kader pemimpin pada masa yang akan datang.
 
Kegelisahan kita, fenomena ini hampir tidak terjadi dalam partai kita sekarang. Dalam realitas politik tidak terjadi pertukaran elite secara reguler, partai dimenangkan oligarki dan diambil keuntungan oleh oligarki partai, diasuh oleh demokrasi.[]
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar kongres pan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif