Tujuh orang nampak bercakap-cakap, sedang seorang mynheer berdiri terpisah di sudut kiri belakang. Sambil bersandar, kaki kirinya ditekuk menempel ke tembok. Dia fokus memerhatikan dan menikmati penampilan sebuah grup musik.
Tiga musisi profesional. Dua pemuda atoin meto (orang suku Timor Dawan), masing-masing memainkan biola dan flute, sementara seorang gadis berparas Tionghoa memetik harpa. Kelincahan dan keapikan itu membuat sang mynheers tak beranjak pergi.
Dari arah pintu belakang, dua pria jongos keriting hitam muncul. Mereka hendak mengantarkan minuman dan makanan ke meja tetamu. Sebuah pesta bersama si mevrouw yang moi tengah berlangsung penuh bahagia. Nuansa tersebut terlihat jelas dalam drawing berjudul Freycinet Visit Monsieur Tilleman at Coupang, Timor Island. Adalah karya penulis dan pelukis Prancis, Jacques Arago (1790-1855).
Menggambarkan tentang kunjungan Louis Claude de Saulces de Freycinet (1779-1841). Dia bersama istrinya Rose de Freycinet singgah ke Kupang, Timor Barat, Kepulauan Sunda Kecil, pada abad ke-19. Perjalanan historis ia tuangkan dalam Journal of the Voyage, 1817-1820.
Freycinet adalah seorang navigator Prancis. Ia pernah mengelilingi dunia dan mengabadikan perjalanannya lewat pembuatan peta pertama secara komplek. Salah satunya tentang Benua Australia.
Selain di jurnal, semua kisah perjalanan Freycinet dicatat menjadi buku. Salah satunya saat pelayaran dari Amerika ke Melanesia, yang ditulis dalam buku Vol 1 Part 2: book II Brazil to Timor, terbitan 1828.
Memerhatikan drawing karya Arago cukup realis. Memberikan sedikit penjelasan hubungan bangsa Eropa dan Nusantara. Itu sangat terasa di masa lalu. Meski tujuannya pelesir, namun tidak terlepas dari kedatangan bangsa kulit putih itu untuk memetakan geografi, meneropong budaya, dan membeli hasil alam.
Karya lainnya, yaitu Domestic Activities in Coupang, Timor Island, karya Freycinet sendiri. Koleksi gambar tersebut dapat dilihat di Musée National de la Marine de Paris (Museum Maritim Nasional Paris).
.jpg)
Freycinet visit Monsieur Tilleman at Coupang, Timor island, karya Jacques Arago. Dalam Journal of the Voyage, 1817-1820. (Repro Iwan Jaconiah)
Kini, program jalur rempah Nusantara sedang digencarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud-Ristek). Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid berperan sebagai “nahkoda-nya”.
Program tersebut elegan dan apik. Mengajak generasi muda untuk melihat kembali jejak kejayaan masa lampau di Nusantara. Tentu, itu jauh sebelum bangsa Eropa datang. Hubungan bangsa Arab, India, dan Cina dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara lebih dahulu terjalin mesra.
Kesungguhan program itu semakin terasa lewat Muhibah Budaya dan Festival Jalur Rempah 2021. Kegiatan warisan budaya ini direncanakan berlangsung selama tiga bulan. Titik awal pelayaran dari Banda, pada Selasa, 17 Agustus 2021, dan titik pemberhentian di Surabaya, pada Kamis, 28 Oktober 2021.
Mengarungi 13 titik
Muhibah Budaya merupakan pelayaran menggunakan KRI Dewaruci dan kapal latih TNI Angkatan Laut. Kapal-kapal tersebut akan membawa pemuda-pemudi pilihan dari 34 provinsi untuk napak tilas jalur rempah Nusantara.
Rute pelayaran menyusuri 13 titik jalur rempah Nusantara, yaitu dari Banda Neira, Ternate, Makassar, Banjarmasin, Bintan, Medan, Lhokseumawe, Padang, Banten, Jakarta, Semarang, Beno, sampai Surabaya.
Tak mengherankan, Hilmar sempat live di Instagram-nya saat bolak balik Jakarta - Banda Neira, belum lama ini. Dia “turun gunung” demi memastikan kegiatan dipersiapkan secara profesional.
Di masa lampau, kehadiran para pedagang antarbangsa memiliki peranan penting. Itu terhadap perkembangan budaya. Masih bisa kita lihat dan rasakan jejaknya di 13 titik. Ada lalu lintas perdagangan sehingga menjadi rute pelayaran.
Benang merah ini akan nampak dalam kegiatan jalur rempah Nusantara. Gema menapaki jejak sejarah sekiranya dapat ikut menyejahterakan penduduk di sekitar 13 lokasi yang menjadi jalur perlintasan KRI Dewaruci nantinya. Sehingga berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam esai ini, saya coba mengambil titik di Timor Kupang sebagai salah satu jalur rempah. Memang tidak masuk dalam 13 lokasi utama festival. Namun, berkaca pada sejarah pulau di gugusan Sunda Kecil itu, era lampau selalu dikunjungi bangsa Cina, India, dan Eropa. Ya, karena keberadaan komoditas kayu cendana wangi (Santalum album), asam, dan kemiri.
Sejarawan dari Persatuan Nusantara Moskwa Prof Dr Victor Pogadaev dalam sebuah diskusi ringan bersama saya, menyebutkan bahwa pada abad ke-12 dalam babad Rusia Povest Vremennih Let atau Babad Masa Lampau, Nusantara telah dikenal luas. Para ahli Rusia menyebutnya Ostrovtsi atau Kepulauan.
Seorang saudagar Rusia dari Kota Tver, Afanasy Nikitin, misalnya, juga pernah menjelaskan Nusantara lewat buku berjudul Perjalanan Melampaui Tiga Laut. Itu tentang pengembaraannya di India (1466-1472).
Itu artinya, jalur rempah telah menghubungkan India dan Timor Kupang di masa lampau. Kayu cendana digunakan sebagai obat, parfum, dan pengawet jenazah dalam tradisi Hinduisme.
Pulau Timor pernah jaya di masanya oleh kekayaan alam. Kini, kayu cendana wangi seakan tertelan bumi dan teramat sulit ditemukan. Kecuali, di tempat-tempat khusus yang dibudidayakan kembali oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nusa Tenggara Timur. Salah satunya di kawasan Taman Bu’at, Timor Tengah Selatan.
Corak tenunan Coupang: Ile Timor
Tidak hanya gambar Freycinet visit Monsieur Tilleman at Coupang, ada juga karya lainnya. Yaitu, Coupang: Ile Timor. Divers Costumes (Coupang, Pulau Timor. Berbagai Kostum) karya Marie Joseph Alphonse Pellion (1796-1868). Ia adalah seorang wakil laksamana Prancis. Si pelayar ini juga dikenal sebagai Odet-Pellion.
Domestic Activities in Coupang, Timor Island, karya Louis Claude de Saulces de Freycinet. Koleksi: Musée National de la Marine de Paris. (Repro Iwan Jaconiah)
Ada tiga sosok perempuan dalam karya Odet-Pellion. Dua perempuan berpakaian tenunan asli pulau Timor. Salah satunya sedang memainkan alat musik seperti harpa. Sementara, satunya adalah babu. Ia nampak sopan membawa semangkuk sup ke sosok perempuan lain yang duduk di kursi. Tak lain adalah seorang majikan.
Drawing tersebut bersumber dari Voyage autour du monde sur les corvettes Uranie et la Physicienne pendant les années 1817, 1818, 1819, et 1820/ Narrative of a Voyage Round the World, in the Uranie and Physicienne Corvettes, Commanded by Captain Freycinet, During the Years 1817, 1818, 1819, and 1820. Diterbitkan di Paris pada 1825. Rangkaian cetakan karya lawas dari tanah eksotis, Timor.
Bangsa Prancis mendokumentasikan kehidupan sehari-hari selama pelayaran Uranie. Tujuannya untuk menghormati ilmuwan astronomi dan geografi. Ekspedisi dipimpin langsung oleh Louis de Freycinet. Itu atas perintah raja Prancis yang baru dipulihkan Louis XVIII. Bertujuan untuk mengembalikan prestise bangsa tersebut.
Keberadaan bangsa Prancis mengarungi dunia dan singgah ke Timor Kupang (dalam literatur asing; Kupang ditulis Coupang) kian memberikan pemahaman tentang jalur rempah.
Bangsa Prancis dikenal sangat menghargai sejarah. Mereka menghormati sumbangsih para peneliti mereka yang telah menaklukkan dunia. Pulau Timor secara politik kala itu terbagi menjadi dua bagian selama berabad-abad.
Belanda dan Portugis berjuang untuk menguasai pulau tersebut sampai dibagi lewat Perjanjian Lisbon pada tahun 1859. Namun, mereka masih tidak secara resmi menyelesaikan masalah perbatasan sampai tahun 1912.
Tak diayal, Nusantara telah menjadi kajian menarik dalam sejarah dunia. Tinggal kita lihai dan jeli menengok kejayaan masa silam sebagai kekuatan. Menjadikan watak dan mental bangsa untuk memelajari sejarah. Bukan sebaliknya, minder dalam pergaulan internasional.
Menengok karya-karya lukisan dan drawing awal abad ke-19, kian membuka mata saya. Terutama, tentang pengaruh seni dalam kehidupan masyarakat, baik di Prancis, Jerman maupun Rusia, misalnya. Lewat karya seni rupa, ada kepuasan bagi bangsa-bangsa tersebut menengok ke timur.
Budaya dan manusia Timor Kupang berabad silam menjadi obyek penelitian dan pengamatan seniman Eropa seperti yang digambarkan Arago dan Freycinet. Hal itu memberi pemaknaan bahwa budaya oriental sungguh prestisius.
Lewat Muhibah Budaya dan Festival Jalur Rempah 2021, sudah patut kejayaan masa lampau dijadikan pegangan masa kini. Memahami betul jejak sejarah sebagai kunci memasuki era post-contemporary. Sekaligus, pedoman menatap masa depan secara bijak.
*Iwan Jaconiah, penyair, esais, dan kulturolog

