Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/Media Indonesia
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/Media Indonesia (Abdul Kohar)

Abdul Kohar

Dewan Redaksi Media Group

Pilar

Mengeluhkan Demokrasi

Abdul Kohar • 16 April 2022 06:34
HUBUNGAN antara demokrasi dan kesejahteraan ekonomi kembali diperdebatkan akhir-akhir ini. Saat sebagian elite dan publik mengusung isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, alasan yang dipakai 'memelihara momentum kebangkitan ekonomi'.
 
Saat Komisi Pemilihan Umum mulai berancang-ancang mengusulkan anggaran pemilu dan pilkada serentak, banyak yang mulai mengait-ngaitkannya dengan ongkos mahal demokrasi. Ada pula yang mulai mengeluhkan terus berkepanjangannya rivalitas tidak sehat sebagai residu kontestasi politik yang merupakan nyawa demokrasi.
 
Bahasa lugasnya kira-kira: demokrasi itu racun stabilitas ekonomi. Kalau instabilitas selalu muncul, investasi akan sulit diharapkan datang. Pokoknya demokrasi itu dianggap selalu gaduh, penuh ketidakpastian, merongrong kenyamanan. Sebaliknya, investasi butuh ketenangan, kepastian, dan kenyamanan.
 
Baca:Fraksi NasDem Konsisten Mengawal Pemerintahan Jokowi hingga 2024 Namun, berbagai literatur dan penelitian menunjukkan sebaliknya. Ada korelasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan. Demokrasi diyakini membawa pengaruh positif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi tersebut akan membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
 
Tingkat kesejahteraan yang tinggi banyak dijumpai di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi, seperti AS. Hasil kajian Morton Halperin dan kawan-kawan menunjukkan dalam kurun lima dekade terakhir, statistik pertumbuhan ekonomi di negara-negara demokrasi tercatat 25% lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara otoriter.
 
Namun, pengalaman Singapura seolah mengirim sinyal bahwa ada jalan lain di luar demokrasi untuk mencapai kesejahteraan. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan Tiongkok. ‘Negeri Tirai Bambu’ tersebut mencoba bereksperimen dengan mengawinkan sistem politik otoriter dan sistem ekonomi pasar bebas. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Tiongkok dewasa ini menjadi momok menakutkan bagi negara-negara Barat.
 
Kolumnis Fareed Zakaria mengistilahkan negara-negara tersebut sebagai illiberal democracy. Istilah yang diperkenalkan pada 1997 itu menggambarkan fenomena kemunculan negara pseudo democracy. Negara penganut sistem politik nondemokrasi, tetapi memiliki pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi juga termasuk dalam kategori pseudo democracy ala Fareed Zakaria ini.
 
Kiranya pengalaman Tiongkok dan Singapura itulah yang mengilhami elite kita untuk mengutak-atik demokrasi. Fakta bahwa itu hanya pengecualian tidak pernah 'disenggol'. Pengecualian itu terjadi karena Singapura dan Tiongkok tidak semajemuk Indonesia. Pula, di dua negara tersebut, angka korupsi bisa ditekan karena kerasnya mereka terhadap perilaku korup.
 
Skor indeks persepsi korupsi Tiongkok yang 43 juga naik signifikan, lebih dari 5 poin dalam waktu sewindu. Skor IPK Singapura malah stabil di atas 83 poin. Indonesia, kendati skor IPK naik, kenaikannya belum eksplosif. Kini, skor IPK Indonesia masih 38, naik sedikit dari skor 36 di tahun 2015.

Jadi, yang mengganggu pencapaian kesejahteraan bukan demokrasi. Korupsilah biangnya. Demokrasi justru memberikan jalan bagi keterbukaan dan akuntabilitas, dua hal yang menjadi 'musuh' korupsi. Adanya jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat yang menjadi ruh demokrasi akan lebih memastikan pertumbuhan ekonomi berlangsung lebih langgeng, adil, dan merata.
 
Namun, demokrasi yang dijalankan secara substansial, bukan semata prosedural. Dalam demokrasi prosedural, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme malah merajalela di lembaga-lembaga politik pemerintahan. Itu tentu membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
 
Ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz beberapa tahun lalu. Dalam kesempatan seminar di Bali, Stiglitz mengungkapkan bahwa sebab utama mengapa proses kebangkitan Indonesia dari keterpurukan ekonomi lebih lama ketimbang negara-negara Asia lain ialah akibat korupsi yang menjerat hampir seluruh sendi kehidupan bernegara.
 
Ketimbang terlalu mengkhawatirkan kegaduhan politik Pemilu 2024 yang berpotensi 'mengganggu momentum pemulihan ekonomi', akan lebih pas bila kita merenungi musabab korupsi masih menjadi-jadi di negeri ini. Pemilu 2024 tidak akan menghambat pencapaian kesejahteraan. Korupsi lah yang selalu memustahilkan kemakmuran.
 
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar demokrasi Podium Pemilu 2024 Pilpres 2024

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif