Jadi, yang mengganggu pencapaian kesejahteraan bukan demokrasi. Korupsilah biangnya. Demokrasi justru memberikan jalan bagi keterbukaan dan akuntabilitas, dua hal yang menjadi 'musuh' korupsi. Adanya jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat yang menjadi ruh demokrasi akan lebih memastikan pertumbuhan ekonomi berlangsung lebih langgeng, adil, dan merata.
Namun, demokrasi yang dijalankan secara substansial, bukan semata prosedural. Dalam demokrasi prosedural, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme malah merajalela di lembaga-lembaga politik pemerintahan. Itu tentu membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
Ini persis seperti apa yang pernah dikemukakan peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz beberapa tahun lalu. Dalam kesempatan seminar di Bali, Stiglitz mengungkapkan bahwa sebab utama mengapa proses kebangkitan Indonesia dari keterpurukan ekonomi lebih lama ketimbang negara-negara Asia lain ialah akibat korupsi yang menjerat hampir seluruh sendi kehidupan bernegara.
Ketimbang terlalu mengkhawatirkan kegaduhan politik Pemilu 2024 yang berpotensi 'mengganggu momentum pemulihan ekonomi', akan lebih pas bila kita merenungi musabab korupsi masih menjadi-jadi di negeri ini. Pemilu 2024 tidak akan menghambat pencapaian kesejahteraan. Korupsi lah yang selalu memustahilkan kemakmuran.