Penyelenggaraan pemilu yang menjadi tugas mereka, sebagaimana Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, presiden dan wakil presiden, juga anggota DPRD, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Seiring dengan harapan yang melambung tinggi kepada KPU, kekhawatiran terhadap KPU juga tak bisa dielakkan. Pasalnya, noktah hitam pernah dibuat oleh oknum KPU.
Bahkan, nama-nama besar komisioner yang sebelumnya sebagai mantan aktivis atau guru besar, imannya juga meleleh dan melakukan praktik rasuah. Lihat saja Ketua KPU periode 2001-2005 Nazarudin Syamsudin.
Pada 2006, pengadilan tindak pidana korupsi memvonis Nazaruddin dengan hukuman 7 tahun penjara. Guru Besar Ilmu Politik UI ini terbukti bersalah dalam pengadaan asuransi bagi petugas Pemilu 2004 dan pengelolaan dana rekanan KPU, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp14,1 miliar.
Masih di masa yang sama ketika KPU untuk pertama kalinya melakukan pemilihan presiden secara langsung pada 2004, Komisioner KPU Mulyana W Kusumah pada 2006 divonis 2 tahun 7 bulan penjara plus denda Rp50 juta. Mantan aktivis pemilu ini terbukti bersalah telah menyuap auditor BPK.
Dia juga dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004. Selain Mulyana, di era yang sama, komisioner Daan Dimara juga divonis divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan tipikor pada 2006.
Daan dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan segel surat suara Pemilu Legislatif 2004. Di masa yang sama, Komisioner KPU Rusadi Kantaprawira divonis 4 tahun penjara plus denda Rp200 juta karena melakukan korupsi pengadaan tinta dalam Pemilu 2004.
Selain komisioner, sejumlah pejabat KPU juga divonis bersalah terkait pelaksanaan Pemilu 2004 silam. Setelah lama tak ada praktik lancung. Pada 8 Januari 2020, Komisioner KPU Wahyu Setiawan ditangkap atas dugaan suap dalam operasi tangkap tangan oleh KPK terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.
Mahkamah Agung memperberat hukuman penjara yang dijatuhkan kepada Wahyu dari 6 tahun menjadi 7 tahun penjara. Pemilu bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mencapai tujuan. Cara tentu saja haram hukumnya mengalahkan tujuan.
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), seperti Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, adalah penyelenggara pemilu. Keduanya harus menjadi 'wasit' yang adil untuk memilih nakhoda yang akan memimpin 270 juta jiwa (BPS, 2020) di Republik ini. Pemimpin nan negarawan. Bukan petugas partai. Bukan pula pemimpin kaleng-kaleng yang dilahirkan dari proses patgulipat. Tabik!