Mengapa saya kaget? Sebagai sesama alumni perguruan tinggi di Amerika Serikat, secara insting tentunya kami akan melihat dan mempelajari apa yang dilakukan dalam kebijakan pendidikan di negara Paman Sam ini. Tentunya bukan dalam upaya untuk copy paste kebijakan yang ada disana tetapi paling tidak dapat dijadikan referensi.
Departemen Pendidikan Amerika Serikat melalui Direktorat Teknologi Pendidikan (https://tech.ed.gov/) telah melakukan beberapa riset penting tentang pemanfaatan teknologi dalam pendidikan, salah satunya penggunaan media televisi.
Berikut ini adalah kutipan dari dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat tentang televisi untuk pendidikan.
“Penelitian tentang penggunaan televisi untuk pendidikan menunjukkan bahwa anak-anak yang mengkonsumsi konten secara pasif ini berdampak buruk pada kesehatan mereka dalam hal berat badan, kebiasaan tidur, dan perkembangan bahasa. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa tayangan kartun/animasi dengan fase cepat berdampak negatif secara langsung pada kemampuan eksekusi anak. Kemampuan eksekusi mengacu pada keterampilan kognitif dan regulasi dalam pemecahan masalah dengan tujuan yang jelas, memori kerja (working memory), penghambatan respon (inhibitory control), dan fleksibilitas dalam mengalihkan perhatian.” Berdasarkan kajian ilmiah
Kebijakan untuk tidak menggunakan media televisi dalam sistem pendidikan nasional Amerika Serikat diambil berdasarkan berbagai macam penelitian ilmiah yang telah dilakukan selama bertahun-tahun di segala penjuru negara yang sedang dipimpin oleh Donald Trump ini.
Sebagai pemangku kebijakan dalam bidang pendidikan, tentunya Mendikbud dapat membedakan antara belajar aktif dan belajar pasif. Media televisi membentuk pola belajar pasif karena tidak ada interaksi antara guru dengan murid maupun antarmurid. Tidak ada umpan balik dari apa yang dilakukan oleh siswa, semuanya adalah komunikasi satu arah.
Pola belajar pasif tentunya tidak bermuara pada pembentukan peserta didik yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila seperti yang menjadi target Mendikbud, yaitu siswa mampu bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan lain sebagainya.
Jika televisi dijadikan media alternatif untuk pembelajaran karena adanya pandemi maka hal tersebut masih dapat diterima. Tetapi jika dijadikan sebuah kebijakan pendidikan nasional yang permanen dan menguras uang rakyat hingga ratusan miliar harusnya Mendikbud dapat meyakinkan semua pihak dengan kajian-kajian akademis yang membuktikan bahwa media televisi dapat mengembangkan literasi, numerasi, kebudayaan, pendidikan karakter, dan bahasa Inggris secara efektif di abad 21 ini.Dengan tugas berat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebaiknya Kemendikbud dikelola dengan pendekatan yang lebih akademis bukan politis.
Yang perlu kita sadari bahwa sekarang ini bukan lagi tahun 1970/80-an ketika televisi menjadi salah media yang meningkatkan motivasi belajar seperti tertulis dalam kajian berjudul Dampak Televisi dalam Pendidikan (Anderson, Lavigne, Hanson, 2012). Dengan demikian dapat disimpulkan media televisi bukanlah media yang tepat untuk mendidik anak-anak Indonesia menjadi SDM Unggul di era revolusi industri keempat ini yang didominasi oleh teknologi digital.
Saat ini harusnya pemerintah berkonsentrasi untuk mengurangi kesenjangan digital dalam dunia pendidikan dan menyesuaikan dengan tantangan yang ada. Era abad 21 ini adalah era inovasi ketika alat kerja harus bersifat multifungsi, bukan hanya sebagai konsumen seperti televisi atau radio, melainkan yang mampu menjadi produsen seperti komputer. Menggunakan TVRI sebagai salah satu program unggulan Kemendikbud adalah sebuah langkah mundur antara 40 sampai 50 tahun.
Dengan tugas berat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebaiknya Kemendikbud dikelola dengan pendekatan yang lebih akademis bukan politis. Itu berarti, segala kebijakan diambil berdasarkan hasil kajian ilmiah dan bukan sekedar asumsi belaka. Sebab, masa depan bangsa Indonesia sedang dipertaruhkan. Apabila terjadi malapraktik dalam mengelola sistem pendidikan nasional, bukan bonus demografi yang akan kita dapatkan melainkan bencana demografi.[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.

