Penjualan pulau di situs lelang asing muncul setiap tahun. Mulai dari penjualan Pulau Panjang dan Pulau Meriam Besar di NTB pada 2007 hingga Pulau Lantigiang di Sulawesi Selatan pada 2021.
Isu penjualan pulau itu mendorong Menko Polhukam Mahfud MD angkat bicara. Kata dia, asing tidak boleh memiliki pulau. Penegasan Mahfud itu sejalan dengan perintah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Disebutkan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Yang dimaksud pulau kecil dalam UU 1/2014 adalah pulau yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer persegi. Artinya, luas maksimal pulau kecil setara dengan tiga kali luas Jakarta. Ibu Kota itu seluas 661,5 kilometer persegi. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau, lebih dari 99% merupakan pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi. Sebanyak 16.671 pulau kecil itu sudah dilaporkan atau didepositkan ke PBB, sementara sebanyak 820 pulau lainnya telah diverifikasi dan sisanya belum dilakukan verifikasi.
Dari 16.671 yang sudah dilaporkan ke PBB itu, ada 1.766 (10,59%) yang merupakan pulau berpenduduk dan 14.905 (89,41%) pulau tidak berpenduduk.
Meski tidak boleh memiliki, regulasi mengizinkan asing mengelola pulau kecil sesuai dengan ketentuan yang ada. Hak pengelolaan atas tanah oleh warga asing dengan mekanisme hak pakai dan hak sewa sesuai dengan ketentuan Pasal 42 dan 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.
Di situlah letak persoalan sesungguhnya. Investasi asing di pulau kecil sudah menjurus pada privatisasi pulau yang menutup akses publik. Investor asing yang menguasai pulau juga seolah-olah memiliki hak untuk menguasai perairan.
Fakta itu ditemukan dalam laporan Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilakukan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada 2015.
Disebutkan bahwa di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, ada seorang pengusaha dari Swiss yang bergerak dalam kegiatan diving, yang mendapat izin untuk membangun cottage di atas sebuah tanjung di Desa Paperu. Karena laut dan terumbu karang di sekitar pesisir pulau tersebut sangat indah dan menarik, para nelayan tradisional dilarang untuk melaut di sekitar tanjung tersebut dengan alasan terdapat ikan dan biota yang langka di dunia.
Sebaiknya pemerintah mulai serius membangun pulau-pulau kecil untuk destinasi unggulan pariwisata dengan melibatkan masyarakat dan memperhatikan keterkaitan ekosistem, tetap menjaga keanekaragaman hayati, kekhasan, dan keaslian nilai budaya.
Sebelum melakukan pembangunan pulau-pulau kecil, elok nian bila pemerintah mulai menata regulasi. Dari hasil penelusuran BPHN, terdapat 21 undang-undang dan 6 ketentuan internasional, baik yang telah diratifikasi maupun hanya sebagai acuan terkait dengan pulau-pulau kecil.
Baca juga:Rachmat Gobel Desak Pemerintah Lindungi Kepulauan Widi |
Peraturan perundang-undangan tersebut memberi mandat kepada 14 sektor pembangunan dalam mengatur pemanfaatan sumber daya pesisir laut dan pulau-pulau kecil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ke-14 sektor tersebut meliputi pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan, keuangan, dan pemerintahan daerah.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa memberikan kepastian pengelolaan pulau-pulau kecil. Ada kewajiban memiliki izin dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil. Pasal 18 angka 22 berbunyi, ‘Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal’.
Kewajiban memiliki izin baik adanya. Akan tetapi, dalam praktiknya menjurus pada privatisasi. Jika itu yang terjadi, terancamlah posisi masyarakat adat dan nelayan tradisional yang menggantungkan hidup secara turun-temurun dari sumber daya yang ada di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Benar bahwa regulasi mengharamkan asing memiliki pulau-pulau kecil, tapi dalam praktiknya investor asing semena-mena terhadap warga lokal, dan negara seakan-akan mendiamkannya.