Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Menghadirkan Rival Sepadan

03 Agustus 2018 07:22
SEHARI jelang pendaftaran pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2019, besok, belum satu pun duet definitif yang bakal turun gelanggang.
 
Masa pendaftaran memang berlangsung hingga 10 Agustus, tetapi akan lebih baik sebenarnya jika publik disodori pilihan sejak jauh-jauh hari. Jika pendaftaran dilakukan jelang tenggat, risiko belum lengkapnya dokumen sangat mungkin terjadi di tengah sedikitnya waktu.
 
Dari hitung-hitungan berdasarkan syarat presidential threshold, pilpres tahun depan hampir pasti diikuti dua konstestan. Kontestan pertama ialah capres Joko Widodo yang diusung koalisi enam partai politik parlemen plus tiga partai nonparlemen. Kontestan kedua bisa jadi Prabowo Subianto yang mungkin didukung gabungan empat partai parlemen.
 
Sejauh ini, kubu pertama boleh dibilang dua langkah lebih di depan ketimbang rival mereka. PDIP, Golkar, Partai NasDem, PPP, Hanura, dan PKB telah satu hati untuk menjadikan Jokowi sebagai presiden dua periode. Keenam partai telah pula menyepakati cawapres yang akan dipasangkan dengan Jokowi. Jati dirinya memang belum diungkap ke publik, tapi yang pasti sudah ada di kantong dan tinggal diumumkan Jokowi. Bisa dikatakan koalisi pengusung Jokowi tenang-tenang menghanyutkan. Silang pendapat karena beda kepentingan memang ada, tapi dalam politik itu wajar belaka. Yang jelas, soliditas mengalahkan segala perbedaan. Sejauh ini tak ada gejolak yang berarti karena mereka satu frekuensi bahwa Jokowi ialah harga mati untuk kembali memimpin negeri ini.
 
Sebaliknya kubu Prabowo sarat dengan dinamika. Perang kepentingan di antara empat partai begitu kentara, terutama setelah masuknya Partai Demokrat. Posisi cawapres pun terus jadi arena perebutan kendati ijtima ulama telah merekomendasikan dua nama, yaitu Ustaz Abdul Somad dan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri.
 
Bahkan, PKS yang memang sejak awal menjadi sekutu utama Gerindra mengancam akan abstain jika tak mendapat jatah wapres. PKS tidak mau Prabowo, yang sudah lama 'pacaran' dengan kader mereka, 'menikah' dengan kader partai lain. Boleh dibilang, koalisi Prabowo masih rentan dan mengkhawatirkan.
 
Demokrasi, termasuk Pilpres 2019, akan sehat jika ada kompetisi dan rakyat diberikan beragam pilihan. Meski undang-undang membolehkan adanya calon tunggal, kita tentu tak mengharapkan itu. Rakyat tak ingin cuma Jokowi yang berkontestasi. Rakyat berkehendak Jokowi punya lawan tanding sehingga tak cuma menghadapi kotak kosong nantinya. Dia perlu rival sepadan sehingga pilpres nanti betul-betul menghasilkan pemimpin terbaik di antara yang terbaik.
 
Melawan kotak kosong ialah petaka buat siapa pun karena jika menang tak membanggakan, kalau kalah amatlah memalukan. Oleh karena itu, kita berharap segala persoalan yang masih membelit kubu Prabowo segera terurai. Tak elok rasanya jika mereka begitu menggebu ingin mengganti presiden, tetapi sampai sekarang belum juga mampu membangun koalisi untuk menantang presiden petahana yang hendak mereka ganti itu.
 
Memperjuangkan kepentingan memang sebuah keniscayaan dalam politik. Itu pula yang biasa dilakukan partai-partai politik dalam sebuah koalisi. Namun, tak baik buat pendidikan politik rakyat jika parpol mendewakan dan memaksakan kepentingan semata.
 
Koalisi akan gampang terbentuk dan kukuh andai kata didasari kesamaan ideologi, setidaknya keseragaman visi dan misi. Koalisi akan mudah terbangun dan awet jika bermodal tanpa syarat. Itulah yang dibutuhkan demokrasi di Republik ini.
 
Kita ingin partai-partai yang hendak berkoalisi untuk mengusung Prabowo tak lagi terjebak dalam libido kepentingan sepihak. Dengan demikian, mereka bisa selekasnya menjalin kerja sama untuk menghadirkan rival sepadan buat Jokowi.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pilpres 2019

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif