Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Tangan Tersembunyi di Perkara Nurhadi

18 Juni 2016 06:22
HAKIM dan panitera keduanya berperan kunci dalam sistem peradilan yang bebas korupsi. Jika hakim dan panitera kompeten, bersih, dan bermartabat, produk putusan yang dihasilkan pun dapat diharapkan memenuhi rasa keadilan. Sebaliknya, jika keduanya korup, martabat hukum bakal jatuh menjadi komoditas yang dapat dipejualbelikan. Ironisnya, kondisi terakhir itulah yang banyak kita saksikan belakangan ini.
 
Setelah menangkap panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution, juga dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu Janner Purba dan Toton, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap seorang panitera. Ia merupakan panitera pengganti di PN Jakarta Utara, Rohadi. Rohadi tertangkap tangan, Rabu (15/6), saat menerima suap Rp250 juta dari Samsul Hidayatullah, kakak pedangdut Saipul Jamil, bersama pengacara Saipul, Bertha Natalia Ruruk Kariman dan Kasman Sangaji.
 
Uang diduga diberikan kepada Rohadi guna memengaruhi putusan hakim terkait dengan perkara pelecehan seksual terhadap anak oleh Saipul Jamil. Kita terkesiap dengan fakta bahwa suap-menyuap hakim dan panitera ternyata sudah dilakukan demikian luas dan masif. Operasi tangkap tangan yang bertubi-tubi dan diberitakan media massa ternyata tak serta-merta membuat hakim dan panitera korup jera. Kita khawatir kasus tertangkapnya Rohadi belum akan menjadi kasus tangkap tangan terakhir yang menimpa panitera dan hakim korup.
 
Dari kasus yang terakhir, kita melihat praktik suap itu berspektrum luas. Artinya, suap terhadap hakim dan panitera berlangsung tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Kasus suap juga terjadi pada hampir semua jenis kasus, mulai kasus korupsi, sengketa ekonomi, hingga pelecehan seksual. Dari gambaran itu, kita melihat KPK sepertinya tengah menangkap benang merah dari berbagai pola korupsi. KPK pun terlihat memahami bahwa praktik suap-menyuap di ranah peradilan yang berlangsung di kantor-kantor pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung memiliki pola terorganisasi dan melibatkan jaringan lintas sektoral. Kita mencermati KPK tengah bekerja keras untuk memberangus jaringan terorganisasi yang menjalankan operasi tersebut.
 
Akan tetapi, kita juga menangkap isyarat KPK terkadang kerepotan dan terkendala oleh campur tangan invisible hands. Saat mengusut dugaan keterlibatan Sekretaris MA Nurhadi Abdurachman, misalnya, KPK terlihat tidak lugas. Selain telah mengamankan sejumlah barang bukti, memeriksa yang bersangkutan lima kali, KPK seperti kesulitan meningkatkan status Nurhadi dari saksi menjadi tersangka. Padahal, posisi Nurhadi patut diduga sangat sentral dalam pusaran berbagai kasus yang diduga melibatkan mafia peradilan.
 
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan bahkan telah menyebut pembersihan peradilan itu didahulukan dengan penindakan terhadap Nurhadi. Nyatanya tak sesederhana itu. Royani, saksi kunci yang diduga terkait dengan keterlibatan Nurhadi, misalnya, tidak bisa dihadirkan, juga empat ajudan Nurhadi yang kesemuanya anggota Polri. Karena itu, kita mendukung penuh KPK agar tidak takut dan ragu menangani perkara itu. Kapolri pun kita desak agar membantu KPK menghadirkan kelima saksi kunci tersebut, bukan sebaliknya tergoda ikut menjadi invisible hand yang mempersulit kinerja KPK.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif