DALAM perang berkepanjangan, tenaga paling kuat sekalipun dapat terkuras. Oleh karena itu, dalam perang macam ini bukan seberapa besar kita menyiapkan tenaga di awal, melainkan seberapa mampu kita memperbaruinya. Hal yang sama pula terjadi pada perang panjang melawan korupsi di Tanah Air. Moral yang sudah sedemikian terpuruk membuat koruptor berbiak bahkan lebih hebat daripada jamur di musim hujan. Mereka subur dalam dinasti politik dan akarnya melintas ke berbagai lapisan. Korupsi yang katanya telah menjadi budaya itu jelas tidak dapat diperangi dengan konsep statis.
Institusi-institusi penegak hukum harus dapat mengisi ulang baterai mereka dengan menciptakan 'strategi' perang yang selihai kebusukan koruptor. Bukan itu saja, strategi itu semestinya juga menguatkan kesolidan para penegak hukum itu sendiri. Bicara mengenai garda antikorupsi di negeri ini, kita patut bangga bahwa upaya mandiri untuk saling menguatkan telah dilakukan.
Kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri menandatangani nota kesepahaman dalam penanganan perkara korupsi. Saat berlangsung di Mabes Polri, MoU itu memiliki 15 pasal yang bertujuan meningkatkan sinergi, kerja sama, dan koordinasi di antara mereka.
Di antara poin yang mutakhir ialah pengembangan surat perintah dimulainya penyidikan berbasis elektronik atau SPDP-E. Dengan sistem daring itu, ketiga instansi dapat saling bertukar informasi penyidikan. Dengan data penyidikan tipikor yang lengkap se-Indonesia itu pula, mereka dapat berkoordinasi dan melakukan supervisi dengan lebih cepat. Dalam kondisi riil nantinya, Ketua KPK Agus Raharjo menggambarkan bahwa sinergi akan membuat proses penyidikan lebih efektif. Kepolisian dan Kejaksaan yang lebih unggul dalam jaringan di daerah dapat membantu KPK dalam melaksanakan penyidikan.
Dari sini kita pantas mengapresiasi langkah bersama ketiga institusi untuk menciptakan garda antikorupsi yang lebih merapatkan barisan. Langkah bersama ini semestinya juga menjadi tamparan bagi partai politik yang dinilai terus berupaya melemahkan KPK. Hingga saat ini banyak kader parpol yang duduk di DPR terus menyuarakan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kini upaya pelemahan itu mendapatkan jawaban paling setimpal, yakni kesadaran dari institusi penegak hukum sendiri untuk merapatkan barisan guna memperkuat pemberantasan korupsi.
Alih-alih menunggu dukungan dari luar, ketiga institusi ini mampu menguatkan diri bersama. Di sisi lain kita juga perlu mengingatkan akan pelaksanaan proporsional dari poin-poin mutakhir lain yang ada dalam MoU tiga institusi tersebut. Poin itu ialah aturan pemberitahuan kepada pimpinan personel yang diperiksa karena korupsi. Pemberitahuan ini dilakukan dalam hal salah satu pihak melakukan pemanggilan terhadap personel pihak lainnya untuk diperiksa. Selain itu, dalam hal salah satu pihak memeriksa personel pihak lainnya, MoU mengatur bahwa personel tersebut didampingi fungsi hukum atau bantuan advokat para pihak.
Dalam hal salah satu pihak melakukan penggeledahan, penyitaan di kantor pihak lainnya, mesti ada pemberitahuan kepada pimpinan pihak yang menjadi objek penggeledahan atau penyitaan, kecuali operasi tangkap tangan. Poin-poin tersebut bisa memberi efek bumerang kepada KPK. Karena itu, kita harus mengingatkan kepada Polri dan Kejagung agar sinergitas dilakukan dengan menjunjung asas penegakan hukum. Jangan sampai bantuan sumber daya yang diimingi kepada KPK memiliki maksud muslihat yang menikam dari dalam. MoU ini sesungguhnya juga pembuktian nyata dari Polri dan Kejagung akan komitmen mendukung total pemberantasan korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
