Editorial MI
Editorial MI ()

Agar Korupsi Raperda tak Berkembang Liar

11 April 2016 10:35
KALANGAN awam sering kali salah kaprah tentang reklamasi. Mereka menganggap reklamasi ialah menambah daratan dengan mengurukkan tanah di sepanjang garis pantai. Anggapan semacam itu yang kemudian memantik penolakan terhadap reklamasi karena ia dianggap merusak lingkungan.
 
Padahal, reklamasi ialah pembuatan daratan di depan garis pantai. Jembatan akan menghubungkan daratan utama dengan daratan hasil reklamasi.
 
Ketika melakukan reklamasi, sekurang-kurangnya perlu diperhatikan tiga hal, yakni aspek lingkungan, kemaslahatan rakyat, dan pertumbuhan ekonomi. Kita sepakat, bila reklamasi mengabaikan ketiga aspek tersebut, ia harus ditolak.
 
Banyak negara melakukan reklamasi, baik untuk fasilitas umum maupun komersial. Jepang melakukan reklamasi untuk membangun fasilitas publik, yakni Bandara Haneda. Hong Kong melakukan hal serupa untuk membangun Bandara Chek Lap Kok. Namun, Singapura melakukan reklamasi untuk kawasan komersial bernama Marina Bay. Indonesia juga memiliki program reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Itu diatur dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995, selain Keppres Tahun 2008 dan 2010. Keppres tersebut mengamanatkan Gubernur DKI Jakarta untuk merealisasikan reklamasi.
 
Atas dasar keppres tersebut, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menerbitkan izin reklamasi. Ada 17 daratan baru hasil ­reklamasi. Reklamasi tersebut sudah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Namun, belakangan amdal tersebut dipersoalkan dan diminta ditinjau ulang.
 
Sebuah peraturan daerah mengatur peruntukan pulau-pulau hasil reklamasi itu. Karena itu, diajukanlah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi Pulau-Pulau Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKI Jakarta serta Perda Tata Ruang Kawasan Stretegis Pantai Utara Jakarta. Di sinilah aspek pengembangan ekonomi dari reklamasi diwujudkan.
 
Dalam raperda itu, Pemerintah Provinsi DKI mengajukan kontribusi tambahan sebesar 15% dari pengembang, selain kewajiban kontribusi lahan 5% yang sudah diatur sebelumnya. Kontribusi tambahan itu nantinya berbentuk bangunan yang semestinya diperuntukkan publik, misalnya rumah susun buat nelayan, di atas lahan 5% itu. Di sinilah aspek kemaslahatan rakyat dipenuhi.
Akan tetapi, DPRD DKI kelihatannya tidak menginginkan adanya tambahan 15% itu. Mereka berkongkalikong dengan pengembang untuk tidak meloloskannya.
 
Dua pekan lalu, KPK menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohammad Sanusi yang menerima suap Rp1 miliar lebih dari pengembang terkait dengan pembahasan raperda zonasi dan tata ruang tersebut. Bahkan, investigasi harian ini mendapatkan informasi adanya permintaan dari pihak di DPRD dengan jumlah tak tanggung-tanggung, yakni Rp5 miliar per kepala.
 
Sejak awal, melalui forum ini, kita mengatakan amat mungkin bukan cuma Sanusi yang menerima duit suap dari pengembang. Oleh karena itu, kita mendorong KPK agar selekas-lekasnya menguak tuntas perkara itu. Selain membuatnya terang benderang, kesigapan KPK dalam menuntaskan kasus itu akan mencegah perkara ini berkembang menjadi bola liar.
 
Terus terang, kasus itu telah berkembang liar tak menentu dalam beberapa pekan terakhir. Banyak yang salah kaprah seolah kasus korupsi yang sedang disidik KPK itu terkait dengan reklamasi. Padahal, ia terkait dengan korupsi pembahasan raperda zonasi dan tata ruang. Salah kaprah itu tentu bisa merugikan pihak-pihak yang tak bersalah.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif