PELANTIKAN Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat, Jumat (20/1), kian menebalkan kekhawatiran dunia atas sejumlah kebijakan kontroversial yang bakal ia terapkan.
Indonesia pun mesti kian matang menyiapkan langkah antisipasi. Ketika Trump mengumbar beragam kontroversi menjelang dan pada saat pelaksanaan kampanye, banyak yang menilai sekaligus berharap ia sekadar omong doang. Ia, misalnya, akan membangun tembok melingkar di perbatasan AS dan Meksiko untuk membendung imigran.
Trump juga ingin melarang umat Islam masuk AS karena banyaknya aksi teror di dunia dan di AS yang mengatasnamakan Islam. Di bidang ekonomi, dia akan sangat protektif dan mendahulukan kepentingan AS.
Amat wajar ketika seorang presiden ingin memperjuangkan, mengutamakan, dan melindungi kepentingan negaranya. Tak cuma dalam tataran keinginan, misi itu sejatinya merupakan kewajiban setiap presiden. Yang jadi soal, demi mewujudkannya, Trump sampai-sampai mengobarkan permusuhan dengan negara dan kelompok tertentu di masyarakat dunia.
Yang menjadi soal juga, Trump ternyata tak asal bicara dengan kebijakan-kebijakan kontroversialnya. Dalam pidato politik setelah dilantik, ia menegaskan bakal menempatkan Amerika sebagai yang pertama alias America first baik di dalam maupun di luar negeri. Kebijakan ekonomi bakal berbasiskan pada dua prinsip, yakni membeli produk dalam negeri (buy American) dan mempekerjakan warga Amerika (hire American).
Trump juga tetap menjadikan kelompok radikal Islam sebagai target utama untuk diperangi. Soal tembok pembatas, ia bergeming untuk membangunnya dan bahkan mewajibkan Meksiko ikut membiayai.
Sebagai poros ekonomi dan politik dunia, kebijakan-kebijakan AS di bawah Trump tersebut jelas bakal berimbas pada masyarakat dunia. Unjuk rasa menentang Trump pun terus terjadi, bahkan mulai merambah lintas negara, termasuk ke Eropa dan Asia.
Namun, bukan berarti kemudian kita mesti hanyut dalam kekhawatiran dan tenggelam dalam pesimisme. Justru sebaliknya, inilah momentum bagi kita untuk unjuk kemampuan sebagai bangsa besar yang selalu mengedepankan optimisme.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, inilah saatnya bagi Indonesia untuk mengoreksi cara pandang Trump yang keliru soal Islam. Saatnya kita mengirimkan pesan kepada Trump bahwa Islam sejatinya agama yang ramah, bukan agama marah; bahwa Islam mengajarkan kedamaian, bukan kekerasan; bahwa Islam agama yang sejuk, tidak gampang mengutuk; bahwa Islam amat toleran, bukan intoleran.
Caranya, umat Islam dan tokoh-tokohnya wajib menunjukkan perilaku nyata sebagai manusia yang ramah, damai, dan menjunjung tinggi toleransi. Kepada Trump, kita bisa meyakinkan anggapan dia bahwa Islam identik dengan terorisme dan kekerasan ialah salah besar.
Pun soal kebijakan ekonomi Trump, kita harus memandangnya sebagai tantangan menarik untuk ditaklukkan. Betul bahwa AS masih merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia. Sepanjang 2016, ekspor kita ke 'Negeri Paman Sam' itu tak kurang dari US$15,68 miliar atau naik 2,46% ketimbang tahun sebelumnya.
Namun, kebijakan protektif Trump bukan berarti kiamat bagi kita. Rencana Trump mendorong pengusaha AS kembali membuka lapangan kerja di kampung halaman tak akan terlalu berdampak signifikan bagi Indonesia. Kekuatan pertumbuhan ekonomi kita terletak di sektor UMKM.
Begitu pula, nilai ekspor ke AS mungkin akan berkurang, tetapi masih banyak pasar lain yang bisa kita optimalkan. Di Tiongkok dan Iran, umpamanya, masih banyak ceruk untuk digarap secara maksimal.
Sesuai dengan politik bebas dan aktif, kita menghormati cara pandang dan kebijakan Trump. Justru, bak pepatah pelaut ulung tak akan lahir di laut yang tenang, dampak kebijakan Trump alias the Trump effect ialah penempa bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang tangguh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
