INDUSTRI pertambangan nasional mulai memasuki babak baru ketika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara terbit. Undang-undang tersebut mengakhiri era perjanjian pertambangan dalam bentuk kontrak karya.Persoalannya masih ada sejumlah kontrak karya yang baru berakhir sekitar 2020-an, atau lebih dari 10 tahun setelah undang-undang tersebut diterbitkan.
Rezim kebijakan yang diamanatkan dalam UU Minerba, khususnya dalam hal perpajakan, jauh berbeda dengan kontrak karya (KK) yang lebih menguntungkan badan usaha. Namun, undang-undang harus dipatuhi. Pemerintah berupaya memberikan jalan transisi bagi badan usaha pemegang KK. Ada dua opsi. Opsi pertama, pemegang KK tidak diharuskan mengubah perjanjian menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Syaratnya badan usaha itu melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat pada 2014 jika ingin bisa mengekspor konsentrat bahan tambang. Selanjutnya, badan usaha dapat beroperasi hingga kontrak berakhir. Opsi kedua, pemegang KK mengajukan perubahan perjanjian KK menjadi IUPK yang sekaligus memastikan keberlanjutan usaha di Tanah Air setelah berakhirnya KK. Untuk itu, badan usaha diwajibkan membangun unit pengolahan dan pemurnian bahan tambang alias smelter.
Kini, tujuh tahun telah berlalu. Salah satu pemegang KK, yakni PT Freeport Indonesia, menyatakan menolak kebijakan pemerintah. Mereka menuntut agar usaha Freeport berjalan persis sesuai dengan KK. Perusahaan asal Amerika Serikat itu juga keberatan mengalihkan kepemilikan mayoritas ke tangan Indonesia.
Pemerintah bergeming. Dasarnya jelas, perintah undang-undang dan konstitusi. UU Minerba telah menurunkan posisi badan usaha pertambangan yang semula sejajar dengan negara melalui kontrak karya. Keadaan itu lebih sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Pada Pasal (2) UUD 1945 tegas dinyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Kemudian, dalam Pasal (3) disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di satu sisi, pemerintah berkewajiban menegakkan amanat konstitusi dan undang-undang. Ancaman untuk membawa perkara ke sidang arbitrase tidak selayaknya membuat goyah. Di situ pula letak kedaulatan negara di mata asing. Di sisi lain, tidak elok juga bila ada isi perjanjian yang diabaikan. Padahal, perjanjian itu ditandatangani pemerintah sebagai perwakilan negara. Kepercayaan investor bisa terganggu.
Kita mendorong pemerintah dan Freeport kembali duduk bersama. Bukan karena pemerintah takut menghadapi arbitrase, melainkan demi mendapatkan solusi terbaik tanpa mengabaikan undang-undang. Duduk bersama semoga menghasilkan solusi yang mampu meminimalkan dampak kekisruhan Freeport terhadap perekonomian Papua dan ekonomi nasional. Ini penyelesaian menang-menang.
Arbitrase ialah solusi menang-kalah. Akan tetapi, bila pada akhirnya kesepakatan tidak tercapai, pemerintah akan selalu mendapatkan dukungan penuh rakyat ketika memutuskan berpihak pada supremasi konstitusi. Gitu aja kok repot.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
