PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang mengamputasi kewenangan menteri dan gubernur untuk membatalkan peraturan daerah kabupaten/kota berpotensi meluluhlantakkan upaya deregulasi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Keputusan itu boleh jadi kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk menggenjot investasi. Pasalnya, deregulasi merupakan tulang punggung dari seluruh paket kebijakan ekonomi.
Kewenangan mendagri dan gubernur membatalkan perda sangat efektif bagi kebijakan deregulasi. Tahun lalu, misalnya, mendagri dan gubernur membatalkan 3.143 perda bermasalah, sebagian besar dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi sehingga menghambat investasi dan kemudahan berusaha.
Namun, sejak MK mengetokkan palunya, upaya untuk mengevaluasi perda bermasalah tersebut mesti lewat Mahkamah Agung, yang efektivitasnya ternyata bertolak belakang dengan yang telah dilakukan pemerintah. Pada 2012 lalu, misalnya, hanya dua perda yang dibatalkan MA.
Di masa mendatang akan sulit menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah. Aturan tegak dengan preferensi berbeda-beda antara pusat dan daerah.
Dampaknya, roda pemerintahan tidak akan berjalan efektif. Pembangunan dan investasi terhambat. Bahkan, roda perekonomian bisa tersandera oleh aturan-aturan dengan perspektif otonomi daerah sempit.
Tidak bisa dimungkiri banyak kepala daerah yang masih bermental bagai raja yang seenaknya menerbitkan peraturan tanpa menyelaraskan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tak sedikit pula perda yang cenderung bertentangan dengan aturan perundang-undangan.
Kewenangan yang luas untuk menggali pajak daerah dan retribusi membuat pemerintah daerah cenderung kebablasan demi menggembungkan pundi-pundi pendapatan asli daerah. Begitu juga dalam aturan pengurusan perizinan usaha di daerah yang mesti melalui banyak pintu. Perilaku 'jika bisa dipersulit kenapa harus dipermudah' masih ditemukan meski reformasi birokrasi sudah berjalan lebih dari satu dekade.
Tidak hanya pembangunan ekonomi yang terancam, banyaknya perda diskriminatif patut mendapat perhatian serius. Perda diskriminatif jelas akan mengancam pluralitas masyarakat Indonesia sekaligus mengancam eksistensi negara kesatuan.
Dari 3.143 perda yang telah dibatalkan pemerintah, 10%-15% merupakan perda diskriminatif. Banyak di antara perda tersebut yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta nilai-nilai kebinekaan.
Ada juga perda-perda itu yang berseberangan dengan prinsip hak asasi manusia serta mendiskriminasi kelompok minoritas dan kaum perempuan sehingga Mendagri menyebutnya sebagai perda yang tidak Pancasilais.
Namun, titah MK telah dijatuhkan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, mau tidak mau pemerintah pusat mesti lebih intensif lagi melakukan asistensi dan memberikan pemahaman kepada daerah tentang koridor aturan yang benar.
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah tidak boleh lelah diupayakan. Kepala daerah bersama mitra legislatifnya jangan sampai obral regulasi yang jadi jerat penghambat pembangunan. Bahkan jika perlu buat regulasi baru untuk mengeliminasi aturan yang bermasalah sebelumnya.
Begitu juga dengan publik yang harus bergerak aktif untuk menggugat uji materi ke MA kalau ada perda bermasalah. Semua pemangku kepentingan punya tanggung jawab untuk memastikan keselarasan pusat-daerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
