Politik Keseimbangan
Politik Keseimbangan ()

Politik Keseimbangan

30 Mei 2016 08:23
Sebaik-baiknya politik luar negeri ialah politik keseimbangan. Politik keseimbangan akan menghindarkan kita dari dominasi dan kooptasi negara lain. Politik keseimbangan menjadikan kita punya posisi tawar tinggi ketika berhadapan dengan negara lain. Kita bebas hendak bekerja sama dengan negara mana pun.
 
Itulah sebabnya sejak awal bangsa ini mencanangkan politik bebas aktif dalam politik luar negeri. Kita bebas sekaligus aktif bekerja sama dengan negara mana pun. Kita bukan bagian dari blok mana pun. Akan tetapi, kita tak sepenuhnya menjalankan politik bebas aktif itu. Tidak mudah memang memainkan politik bebas aktif di antara dua kekuatan adidaya ketika itu, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
 
Suatu masa di era pemerintahan Soekarno, negara ini berkiblat ke Uni Soviet. Di masa Presiden Soeharto, Indonesia cenderung berkiblat ke Amerika Serikat dan Barat. Ketika Uni Soviet runtuh, Amerika dan Barat plus Jepang seperti menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi-politik dunia. Namun, kini tampil kekuatan ekonomi-politik baru, yakni Tiongkok. Ada pula Rusia sebagai ahli waris utama kebesaran Soviet.
 
Pemerintahan Jokowi seperti dihadapkan untuk memilih lebih berkiblat pada Tiongkok atau AS-Jepang. Ketika Presiden Jokowi memutuskan bekerja sama dengan Tiongkok, bukan Jepang, dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, orang menuduh Jokowi lebih berkiblat ke Tiongkok. Orang pun meramalkan Jepang bakal berang. Sesungguhnya tidaklah mudah bagi Jepang mengabaikan begitu saja Indonesia secara ekonomi. Pada titik tertentu, ‘Negeri Sakura’ itu bahkan bergantung kepada kita. Lihatlah bahwa Indonesia ialah negara nomor wahid tujuan ekspor otomotif Jepang. Undangan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kepada Presiden Jokowi untuk menghadiri KTT G-7 Outreach di Jepang pekan lalu bisa dibaca sebagai pengakuan betapa pentingnya posisi Indonesia bagi Jepang dan negara negara G-7. Akan tetapi, kita tak boleh besar kepala, tidak mentang-mentang, dan tetap menghargai Jepang sebagai salah satu ‘saudara tua’ dalam kerja sama ekonomi.
 
Dalam konteks ini, sangatlah tepat ketika Presiden Jokowi mematangkan kerja sama dalam proyek kereta sedang Jakarta-Surabaya dengan Shinzo Abe di sela-sela pertemuan KTT G-7 tersebut. Dalam konteks politik-ekonomi luar negeri, Presiden Jokowi bisa dikatakan tengah memainkan politik keseimbangan. Dia berusaha menyeimbangkan kerja sama ekonomi dengan Tiongkok dan Jepang, bukan membikinnya berat sebelah. Dia bermain cantik dalam menghadapi para raksasa ekonomi dunia.
 
Indonesia, karena ketersediaan sumber daya alam dan energi, bonus demografi, serta percepatan pembangunan infrastruktur, punya potensi ekonomi sangat besar. Negara-negara lain pasti berkepentingan menjalin kerja sama ekonomi, juga politik, dengan Indonesia. Posisi strategis itu semestinya menjadikan kita lebih piawai lagi mengelola politik keseimbangan. Jangan biarkan negara lain mendikte kita sehingga kerja sama ekonomi lebih menguntungkan negara lain tersebut.
 
Kita selayaknya memiliki posisi tawar tinggi sehingga kerja sama ekonomi relatif seimbang alias menguntungkan kedua pihak, bukan lebih menguntungkan negara lain seperti sebelumnya. Dalam setiap kerja sama dengan negara lain, kepentingan nasional kita menjadi pertaruhannya. Kita merupakan negara besar. Janganlah kita mengecilkan diri dengan mencondongkan posisi kita pada satu kekuatan ekonomi-politik tertentu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif