HARI INI ini, umat muslim di sejumlah negara, termasuk Indonesia, merayakan Hari Raya Idul Adha 1439 Hijriah. Beberapa negara lain, karena perbedaan awal penanggalan, telah merayakan hari besar tersebut, kemarin. Perbedaan ialah rahmat, karena itu kita tak perlu menghabiskan energi untuk mendebatkan perbedaan tersebut.
Ada dua ibadah yang menjadi penyangga perayaan Idul Adha yaitu ibadah kurban dan haji. Keduanya sama-sama mengandung nilai serta makna pengorbanan yang amat tinggi sebagai penopang keimanan dan pengabdian total kepada sang Maha Pencipta. Itu pula sebabnya Idul Adha kerap disebut dengan Hari Raya Kurban atau Lebaran Haji.
Idul Adha dilaksanakan oleh umat muslim di seluruh dunia, tidak peduli dalam situasi perang maupun damai, di tengah kemakmuran maupun dalam suasana krisis. Ia selalu datang untuk menyentakkan lagi spirit pengorbanan, ketulusan, dan keikhlasan yang kini terus meluruh ditelan rakusnya individualisme dan egosentrisme. Ia selalu kembali untuk mengingatkan pentingnya spirit untuk berkorban bagi sesama, karena tanpa itu, yang muncul ialah penyakit-penyakit sosial dan kerusakan tatanan nilai kemanusiaan.
Dalam situasi dan konteks seperti itulah Idul Adha hadir dan dirayakan di Indonesia saat ini. Apa indikatornya? Ambisi-ambisi golongan dan pribadi lebih mendominasi kehidupan berbangsa ini ketimbang pengabdian diri yang hakiki. Loyalitas kebangsaan acap tergusur oleh loyalitas terhadap kepentingan dan kekuasaan. Kesediaan berkorban pun teramat sering tergantikan oleh pameran keserakahan.
Idul Adha datang untuk mengajarkan bahwa pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah wujud kepasrahan tiada tanding yang mestinya menjadi teladan kita semua anak bangsa, termasuk mereka yang dianggap tokoh dan elite bangsa. Spirit pengorbanan sekaliber pengorbanan Ibrahim saat menyembelih sang anak, Ismail, masih sangat relevan dan seharusnya dijadikan contoh untuk diaktualisasikan dalam konteks kekinian.
Adalah saat yang tepat bagi bangsa ini untuk mengambil hikmah atas hakikat Idul Adha. Terutama sekarang, ketika di sejumlah titik di negeri ini banyak saudara kita tengah ditimpa musibah bencana atau memiliki kehidupan yang serbakekurangan. Korban gempa di Lombok, korban bencana kekeringan di sejumlah daerah, sangat memerlukan dukungan dan uluran tangan. Kepedulian kita terhadap sesama, bantuan kita kepada yang lebih membutuhkan, sesungguhnya merupakan langkah awal untuk menumbuhkan spirit pengorbanan yang sudah dicontohkan dalam sejarah Idul Adha.
Dalam perspektif yang berbeda, makna kurban yang mengedepankan penghilangan ego juga amat diperlukan bangsa ini yang tengah menjalani proses pendewasaan politik dan demokratisasi. Berkurban jangan cuma dianggap sebagai ritual dan formalitas semata, berkurban juga jangan dijadikan komoditas aksi demi sekadar status dermawan atau hartawan. Kerelaan berkurban mesti dimaknai sebagai laku prihatin, sebagai kesediaan mengorbankan rupa-rupa ego demi kepentingan yang lebih besar dan mulia.
Demi tujuan yang lebih besar dan bermakna, sembelihlah semua ego, keserakahan, serta sifat-sifat culas lainnya. Penggallah semangat untuk menang sendiri dan benar sendiri karena yang seperti itu pasti tak menyisakan ruang untuk simpati dan empati. Selamat merayakan Hari Raya Idul Adha, semoga kita semua dapat meneladani sekaligus meningkatkan level pengamalan spirit pengorbanan yang telah diajarkan Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di