MEMBATASI transaksi tunai merupakan salah sata cara yang ditempuh dalam upaya untuk mencegah atau menanggulangi tindak pidana korupsi. Asumsinya, dengan transaksi nontunai semua transaksi yang dilakukan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun dapat dilacak dan diidentifikasi.
Dengan demikian, penyidik kasus korupsi pun menjadi lebih mudah untuk menerapkan prinpsip follow the money serta menjerat siapa pun yang terlibat dalam tindak pidana tersebut.
Dengan dasar pikiran yang sama, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengusulkan agar transaksi uang tunai dibatasi paling tinggi Rp25 juta.
Agus mendorong hal itu menanggapi wacana yang muncul terkait dengan draf sementara RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Dalam draf RUU tersebut batasan transaksi uang kartal ditetapkan sebesar Rp100 juta. Batasan itu berlaku akumulatif untuk transaksi dalam satu hari.
Jika ketentuan itu diterapkan, seseorang atau korporasi, misalnya, hanya dapat melakukan transaksi uang kartal maksimal Rp100 juta dalam satu hari. Selebihnya, transaksi harus dilakukan melalui pola nontunai melalui penyedia jasa keuangan, baik bank maupun nonbank.
Agus menilai batasan Rp100 juta tersebut terlalu tinggi sehingga perlu diturunkan hingga Rp25 juta per hari. Argumennya, korupsi suap-menyuap, misalnya, kerap dilakukan dalam pecahan yang jauh lebih rendah dari Rp100 juta, yakni Rp25 juta.
Kita tentu memahami jalan berpikir para penegak hukum dalam upaya memberantas praktik korupsi. Akan tetapi, harus dicatat bahwa ketentuan pembatasan transaksi yang akan diatur RUU itu berimplikasi sangat luas, bukan hanya pemberantasan korupsi.
Jika diterapkan, ketentuan itu akan berdampak pula terhadap perekonomian nasional. Di negara-negara maju, transaksi tunai dengan uang kartal memang sudah nyaris ditinggalkan. Di Tiongkok, misalnya, transaksi kecil di gang-gang, pasar tradisional, dan pinggir jalan bahkan sudah dilakukan dengan aplikasi di ponsel.
Akan tetapi, hal yang sama belum dapat diterapkan di sini. Meskipun telah terbangun national payment gateway alias gerbang pembayaran nasional (GPN), infrastruktur nontunai kita secara keseluruhan masih belum lengkap dan belum siap. Aplikasi pembayaran nontunai juga belum dapat dipergunakan secara memadai di seluruh Indonesia.
Karena itu, pembatasan transaksi tunai Rp100 juta jelas berpotensi mengganggu perekonomian dan transaksi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), juga usaha sangat mikro. Kita tahu pelaku usaha bidang UMKM masih terbiasa menggunakan transaksi tunai di kampung-kampung dan desa-desa.
Karena itu, kita menolak keras ketentuan dalam RUU Pembatasan Transaksi Tunai yang membatasi transaksi tunai dengan nominal Rp100 juta dan bahkan Rp25 juta per hari.
Kita tetap mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh KPK. Akan tetapi, KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta BI hendaknya mencari alternatif lain untuk mencegah tipikor melalui transaksi tunai.
Mendorong RUU ini jelas merupakan langkah tidak cerdas dalam konteks momentum politik. Ia sangat rawan menjadi objek para politikus untuk menyerang pemerintah menjelang Pemilu 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di