Kuasa negara di sektor pangan selalu mendapat ujian di masa-masa jelang Ramadan dan Lebaran seperti sekarang. Di saat itu pulalah publik bisa melihat bahwa kuasa itu nyatanya sangat lemah, bahkan belum tampak, hingga hari ini. Tengoklah harga daging di sejumlah daerah yang sejak satu bulan hingga dua minggu sebelum puasa pun sudah melambung liar. Presiden Joko Widodo meradang karena perintah pertama yang ia lontarkan kepada para pembantunya untuk segera menurunkan harga daging gagal dilaksanakan.
Presiden pun mesti mengulang lagi perintahnya, tiga minggu kemudian, sekaligus ingin mengingatkan bahwa melonjaknya harga daging merupakan persoalan amat serius dan penurunan harga menjadi harga mati. "Caranya saya tidak mau tahu, saya minta sebelum Lebaran, harga daging harus di bawah Rp80 ribu," ujar Jokowi, Senin (23/5). Negeri ini sudah terlalu lama disesatkan dengan konsep 'harga daging itu memang mahal'. Publik terus digempur dengan pemahaman bahwa harga daging yang mahal, yang mencapai Rp100 ribu per kilogram, itu biasa. Jadi, penanganan dan antisipasi yang dilakukan selama ini pun terlihat biasa-biasa saja.
Pada sisi itu, kita mesti mengapresiasi Presiden yang lewat pernyataannya ingin menghapus 'kebiasaan' tersebut. "Buat saya ini bukan hal biasa. Itu harus dibongkar dan dijungkirbalikkan. Perlu kerja keras kita semua," tegasnya. Namun, tugas Presiden selanjutnya sangat tidak mudah. Ia mesti menerjemahkan keinginannya itu kepada menteri-menteri sekaligus memastikan mereka betul-betul dapat menjungkirbalikkan hal-hal yang dianggap biasa tersebut. Yang dibutuhkan saat ini ialah kecermatan, juga kemauan pemerintah untuk mencari akar masalah sesungguhnya dari anomali pergerakan harga daging saat ini. Secara teori, sebetulnya tak ada alasan kuat yang dapat membuat harga daging semakin hari semakin mahal. Stok ada, malah pemerintah siap pula melakukan impor bila pasokan dari dalam negeri kurang. Kebutuhan juga belum terlalu melonjak karena Lebaran masih jauh datangnya.
Akan tetapi, faktanya harga justru seperti tak terkendali. Semakin pemerintah ingin mengendalikan, semakin liar pula harga bergerak. Perpres Nomor 71/2015 yang diterbitkan tahun lalu untuk pengendalian harga pangan bahkan tak juga mampu menambah daya pemerintah untuk menanggulangi keliaran harga. Fakta itu semakin mengonfirmasikan memang ada tangan-tangan tak terlihat sekaligus tak tersentuh yang terus bermain di sektor pangan. Mereka semaunya mempermainkan harga, tentu demi meraup rente yang tidak cuma secuil.
Karena itu, dari satu sisi, pemerintah mau tidak mau mesti mengurai lagi akar persoalan, mulai manajemen produksi, manajemen stok, hingga manajemen distribusi. Langkah all-out harus cepat dilakukan dengan satu koordinasi yang rapi untuk melenyapkan ego dari seluruh kementerian dan lembaga terkait. Di sisi yang lain, pemerintah harus pula berani menguak sekaligus bertarung melawan penjahat pangan yang tanpa pernah tersentuh dan terus menggerogoti sektor yang amat penting bagi rakyat ini. Inilah saat yang tepat bila pemerintah ingin membuktikan bahwa kuasa negara di sektor pangan sejatinya masih ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
