Urus Rakyat Kemudian
Urus Rakyat Kemudian ()

Urus Rakyat Kemudian

20 Desember 2016 07:03
KINERJA DPR sepanjang tahun ini penuh dinamika. Sayangnya, dinamika yang terjadi di lembaga parlemen itu diwarnai perjuangan keras, sangat keras, untuk kepentingan diri sendiri. Bukan perjuangan untuk urusan rakyat. Dinamika itu dimulai dengan pengunduran diri Setya Novanto dari kursi Ketua DPR hingga kegaduhan karena Novanto kembali menginginkan kursi yang sudah dilepasnya.
 
Seusai Novanto kembali didapuk memimpin parlemen, Fraksi PDIP juga tak kenal lelah berjuang untuk mendapatkan jatah kursi pimpinan MPR dan DPR. Sebagai partai dengan kursi terbanyak di Senayan, PDIP merasa paling berhak mendapat kursi pimpinan.
 
Perjuangan PDIP berbuah hasil. Revisi terbatas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) terkait dengan pasal jumlah pimpinan MPR dan DPR resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016-2017. Itulah inti keputusan rapat paripurna dewan pada 15 Desember.
 
Revisi terbatas itu untuk mengubah dua pasal saja, yaitu pasal 15 ayat (1) yang mengatur jumlah pimpinan MPR dan pasal 84 ayat (1) tentang jumlah pimpinan DPR. Jumlah pimpinan MPR dan DPR akan ditambah dari masing-masing lima orang menjadi enam orang. Terang benderang sudah bahwa gerak DPR kelewat lincah dan lihai membahas perundangan terkait dengan kepentingan diri sendiri. Namun, gerak itu tertatih-tatih, sangat lamban, bila membahas perundangan yang menyangkut hajat hidup rakyat.
 
Saking lincah dan lihainya, pada mulanya ada keinginan kuat untuk langsung mengesahkan revisi MD3 dalam rapat paripurna Kamis (15/12). Namun, DPR akhirnya menyepakati untuk membahasnya pada masa reses dari Jumat (16/12) hingga Senin, 9 Januari 2017. Pembahasan resmi dilakukan mulai besok.
 
Jika tidak ada aral melintang, revisi UU MD3 disahkan pada pembukaan masa persidangan awal Januari 2017. PDIP pun, saat memasuki tahun baru, sudah bisa menikmati empuknya kursi pimpinan MPR dan DPR.
 
Ada dua persoalan serius menyertai hasrat berkuasa untuk kepentingan diri sendiri di DPR. Pertama, itulah pertama kalinya lembaga negara yang dipimpin secara kolektif kolegial akan memiliki pimpinan dengan jumlah genap. Biasanya jumlah pimpinan ganjil untuk memudahkan pengambilan keputusan. Bisa jadi, di atas muka bumi ini hanya ada di Indonesia pimpinan lembaga negara berjumlah genap.
 
Kedua, ini persoalan sangat serius, revisi UU MD3 yang tergesa-gesa menunjukkan perilaku politik legislatif yang terlalu asyik dengan urusan diri sendiri ketimbang mengedepankan fungsi selaku wakil rakyat. Dari sisi legislasi, misalnya, tercatat 50 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk Prolegnas 2016. Di saat tidak sedikit RUU yang pembahasannya tak kelar-kelar padahal sudah melampaui batas waktu, tiba-tiba masuk revisi UU MD3.
 
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah yang paling lama dibahas saat ini, melewati tujuh kali masa persidangan. Padahal, menurut ketentuan Pasal 143 Tata Tertib DPR, pembahasan RUU dilakukan dalam jangka waktu tiga kali masa persidangan. Satu masa persidangan berdurasi 3-4 bulan.
 
Pembahasan RUU yang berlama-lama itu tentu saja berkorelasi dengan membengkaknya anggaran. Anggaran pembahasan satu RUU untuk waktu yang normal diperkirakan mencapai Rp6 miliar-Rp7 miliar. DPR telah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan fungsi legislasi sebesar Rp332,5 miliar di APBN 2016.
 
Kita ingatkan DPR untuk tetap mengutamakan kualitas undang-undang. Undang-undang yang tidak berkualitas, apalagi hanya untuk kepentingan diri sendiri seperti revisi UU MD3, berpotensi digugurkan di Mahkamah Konstitusi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif