SETIAP orang jika disodori pilihan pasti menolak diperlakukan tidak adil. Tidak hanya sebagai manusia tetapi juga sebagai warga negara yang memiliki kedudukan yang setara bersama warga lainnya di mata hukum. Kedudukan itu dengan jelas dilindungi oleh konstitusi.
Maka, ketika hak-hak seseorang terusik, apalagi terlanggar, sewajarnya ia berusaha menuntut keadilan. Itulah yang tiada henti diperjuangkan Antasari Azhar, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak mulai terseret kasus pembunuhan dengan motif skandal cinta segitiga, Antasari mengerahkan segala daya upaya untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Tetapi hukum saat itu berkata lain, ia dinyatakan bersalah sebagai otak pembunuhan dan dijatuhi vonis 18 tahun penjara pada 2009.
Di November 2016 yang baru lalu, Antasari mendapat pembebasan bersyarat. Lebih jauh lagi, permohonan grasinya dikabulkan Presiden Joko Widodo. Enam tahun sisa masa hukumannya tidak perlu ia jalani lagi.
Perlu diingat, grasi hanyalah bentuk kewenangan Presiden untuk mengurangi hukuman terpidana dalam semua jenis tindak pelanggaran. Bukan membebaskan sang terpidana dari status hukumnya. Antasari tetap bersalah atas nama hukum.
Tidak dimungkiri, grasi Presiden Jokowi melapangkan langkah Antasari menuntut keadilan. Dengan kondisi bebas, Antasari menyuarakan tekad untuk kembali membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Bahkan, tekad itu mendapatkan dukungan dari keluarga korban pembunuhan dalam perkara Antasari. Sesuatu yang tidak normal terjadi. Kecuali, pihak keluarga juga meyakini Antasari tidak bersalah.
Walau yang menjatuhkan vonis terhadap Antasari merupakan wakil-wakil Tuhan, hukuman terhadap dirinya tidak memiliki kebenaran mutlak. Potensi keliru dalam menilai, baik disengaja atau pun tidak, selalu menyertai hakim. Lihat saja Tajudin, si penjual cobek yang dijebloskan ke penjara karena dianggap bersalah melakukan eksploitasi terhadap anak. Setelah 8 bulan dipenjara, ia akhirnya mencecap keadilan, terbebas dari tudingan yang keliru itu.
Akankah Antasari mendapatkan akhir seperti Tajudin? Kita hanya berharap keadilan menemukan jalannya. Bila dalam jalan itu kebusukan-kebusukan terbongkar, pengadilan harus mampu menjatuhkan hukuman setimpal kepada dalangnya sesuai koridor hukum.
Pun, selanjutnya, kelantangan untuk menuntut keadilan hukum tidak berhenti pada Antasari. Dalam catatan Komnas HAM, ketimpangan akses keadilan hukum menduduki peringkat kedua tertinggi pelanggaran HAM sepanjang tahun lalu. Ketimpangan itu membuat para korban memilih diam dan pasrah, kendati hak mereka terlanggar.
Negara punya tugas besar untuk menyingkirkan ketimpangan tersebut. Corong menuntut keadilan bukan hanya milik orang-orang prominen. Semua punya hak sama. Hanya dengan akses keadilan hukum yang setara, kita bisa mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
