Mengoptimalkan hukuman untuk menghadirkan efek jera bagi para pelanggar hukum di negeri ini masih menjadi barang mahal. Ancaman hukuman maksimal hanya tegas di kitab undang-undang, tetapi sangat lembek di tataran pelaksanaan. Lemahnya penegakan hukum membuat pelanggar hukum tak pernah kapok mengulangi perbuatan mereka. Calon pelanggar hukum pun tak takut untuk juga melanggar hukum. Lunglainya para penegak hukum, apalagi ketika berhadapan dengan mereka yang berkuasa dan berpunya, membuat hukum ibarat macan kertas.
Sungguh, bangsa ini sudah sangat lama terjebak di gurun gersang tanpa kehadiran penegak hukum yang berani dan tegas. Dalam situasi itulah, oase datang dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas PT Nasional Sago Prima (NSP). Dalam putusan perkara pembakaran hutan tersebut, Kamis (11/8), majelis mewajibkan PT NSP yang beroperasi di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, membayar ganti rugi hingga Rp1,07 triliun. Hukuman itu merupakan konsekuensi atas keterlibatan mereka membakar hutan dan lahan seluas 3.000 hektare di kawasan perusahaan tersebut pada 2014.
Putusan berani dan tegas Majelis Hakim PN Jaksel jelas patut kita apresiasi. Ia menjadi harapan baru dalam penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia. Ia juga menjadi bukti implementasi Peraturan Menteri Kehutanan No 12/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan yang menggariskan tanggung jawab penuh kepada pemegang izin terhadap kawasan hutan yang mereka kelola.
Peraturan menteri itu mendalilkan bahwa ketika perusahaan meminta izin mengelola hutan, melekat pula kewajiban dalam diri mereka untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Dalil itu yang dijadikan pijakan majelis untuk mengetukkan palu putusan. Betul bahwa putusan tersebut baru di pengadilan tingkat pertama. Masih ada kemungkinan hukuman berubah di pengadilan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, kita berharap, pemahaman hakim di pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung sama dengan Majelis Hakim PN Jaksel. Kita juga berharap, putusan itu menjadi yurisprudensi hakim lain saat menangani kasus-kasus kebakaran hutan lainnya.
Pembakaran lahan dan hutan ialah kejahatan yang sangat destruktif. Dampaknya luar biasa besar karena begitu banyak korban yang ditimbulkan. Pada 2015 misalnya, pembakaran melahap 1,7 hektare lahan. Selama lebih dari tiga bulan, 43 juta saudara kita di Sumatra dan Kalimantan tercekik oleh asap, lebih dari 500 ribu mengidap beragam penyakit, dan bahkan belasan orang melepas nyawa.
Berulang kali kita menegaskan hanya ketegasan tanpa batas terhadap para penjahat ekologis yang bisa mencegah kebakaran hutan dan lahan menjadi ritual tahunan. Ketegasan itu harus seirama dari hulu hingga hilir, mulai penyelidikan perkara sampai vonis yang berkekuatan hukum tetap. Penegakan hukum terhadap pembakar lahan dan hutan akan sia-sia jika ketegasan cuma dikedepankan satu penegak hukum, sementara penegak hukum yang lain lemah atau melemahkan diri. Keberanian dan ketegasan yang ditunjukkan Majelis Hakim PN Jaksel dalam menghukum PT NSP ialah contoh nyata untuk menjerakan pembakar hutan dan lahan.
Kepada aparat kepolisian, publik telah bosan mendengar adanya obral surat perintah penghentian penyidikan kasus kebakaran hutan dengan alasan kesulitan bukti. Kepada kejaksaan, rakyat tak mau lagi mendengar tuntutan ringan bagi penjahat lingkungan. Menindak tegas tanpa kompromi para pembakar lahan dan hutan ialah solusi jitu agar kebakaran hutan tak terus terjadi. Cara seperti itu harus semakin masif ditempuh seluruh penegak hukum tanpa kecuali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
