UNTUK kali kedua, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dipimpin orang yang terbelit tindak pidana musuh besar dunia, yakni korupsi. Untuk kesekian kalinya pula PSSI yang semestinya menjadi bagian dari agen pengharum nama bangsa malah menebar cela. PSSI lagi-lagi dikomandani sosok yang tersangkut kasus korupsi setelah La Nyalla Mattalitti ditetapkan sebagai tersangka perkara penyalahgunaan dana hibah dari Pemprov Jawa Timur ke Kadin Jatim pada 2012. Oleh Kejati Jatim, La Nyalla yang juga Ketua Kadin Jatim diyakini ikut menggunakan dana hibah itu untuk pembelian saham perdana Bank Jatim sebesar Rp5,3 miliar.
La Nyalla mengikuti jejak buruk Nurdin Halid. Nurdin menjadi terpidana kasus korupsi distribusi minyak goreng, tetapi ia tanpa malu menjalankan roda organisasi PSSI dari balik jeruji besi pada 2007. Kasus korupsi yang membelit La Nyalla memang tak terkait dengan sepak bola. Beda dengan Nurdin, La Nyalla juga baru berstatus tersangka. Namun, status tersangka apalagi tersangka kasus korupsi tetaplah aib. Tak cuma buat La Nyalla pribadi, status itu juga aib buat PSSI, buat sepak bola nasional, bahkan aib buat bangsa dan negara jika ia tetap berkuasa di PSSI.
Karena itu, tiada alasan yang bisa dijadikan pembenaran untuk mempertahankan La Nyalla sebagai Ketua Umum PSSI. Betul dalam Statuta PSSI digariskan bahwa anggota Komite Eksekutif PSSI harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal. Artinya, kalau baru tersangka, masih boleh menjabat. Namun, PSSI dibangun berfondasikan sportivitas serta hidup bernapaskan penghormatan pada etika dan moral.
Semua pelaku sepak bola, apalagi sekelas Ketua Umum PSSI, semestinya menjunjung tinggi etika dan moral itu. Menjadi tersangka korupsi jelas bertentangan dengan etika dan moral. Dengan demikian, jika masih peduli pada etika dan moral, La Nyalla semestinya mundur.
Namun, mengharapkan La Nyalla mundur ibarat pungguk merindukan bulan. Ia malah langsung menabuh genderang perang, menyerang segala penjuru dan menuding penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan konspirasi untuk mendongkelnya dari kursi Ketua Umum PSSI. Pun demikian para sekutunya di PSSI. Rupa-rupa siasat mereka buat untuk membentengi sang bos agar tetap berkuasa di PSSI. Mereka, misalnya, gigih berdalih bahwa La Nyalla tak bisa disamakan dengan Sepp Blatter yang berbesar hati lengser dari kursi Presiden FIFA karena FIFA diguncang kasus korupsi.
Alasan mereka, kasus yang mendorong Blatter mundur terkait langsung dengan sepak bola, sedangkan perkara yang menerpa La Nyalla tak bersentuhan dengan sepak bola. Padahal, korupsi tetaplah korupsi. Ia tetaplah perbuatan terkutuk di mana pun terjadi. Kasus yang menerpa La Nyalla merupakan momentum untuk kembali melakukan perbaikan total di PSSI. Bola revolusi kini berada di kaki anggota dan pemilik suara di PSSI. Hanya merekalah yang bisa melakukan perombakan dengan menggelar kongres luar biasa (KLB) untuk mendongkel La Nyalla dan kroni-kroninya, kemudian memilih pengurus baru yang memang sepenuh hati ingin membangun sepak bola di Tanah Air.
Kita berharap kesadaran dan kepedulian mereka tumbuh untuk membangkitkan sepak bola nasional yang sudah lama mati suri, apalagi setelah pemerintah membekukan PSSI. Kita berharap mereka tak lagi membiarkan PSSI terus dikuasai orang-orang yang cuma memikirkan kepentingan pribadi. Inilah saatnya kembali merevolusi PSSI setelah revolusi pertama dengan menggusur Nurdin Halid tak membuahkan perbaikan. Kalau tidak kali ini, kapan lagi?
Cek Berita dan Artikel yang lain di
