KOMISARIS Jenderal Budi Gunawan melenggang mulus menuju kursi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Berbeda dengan ketika ia sempat diajukan Presiden menjadi Kepala Polri, pencalonannya di BIN bisa dikatakan tidak memancing kontroversi di masyarakat.
Budi juga dengan lancar melalui uji kelayakan dan kepa¬tutan di DPR hingga mendapat persetujuan bulat di rapat paripurna, kemarin. Dengan persetujuan DPR, hari ini pun ia bisa dilantik Presiden menggantikan Letjen (Purn) Sutiyoso.
Kendati begitu, tantangan besar menghadang Budi. Ia dituntut meningkatkan kinerja intelijen, sekaligus menyiner¬gikan berbagai sumber daya yang berserakan. Budi pun menjanjikan hal itu. Fungsi-fungsi intelijen yang melekat di TNI, Polri, kejaksaan, ataupun lembaga pelat merah lainnya saat ini seakan bergerak sendiri-sendiri. Mereka kurang mampu saling melengkapi dan menguatkan.
Hasilnya informasi intelijen yang sampai ke telinga Presiden ataupun untuk kepentingan nasional kurang akurat, bahkan cenderung terlambat. Contoh terbaru ialah status kewarganegaraan Arcandra Tahar. BIN ikut terperangah bersama publik ketika mengetahui Arcandra yang telah dua pekan dilantik menjadi menteri ESDM ternyata memiliki kewarnegaraan ganda. Suatu hal yang sulit dipercaya, lembaga terdepan dalam intelijen negara tidak mengetahui hal itu sebelum sang calon menteri telanju¬r dilantik. BIN beralasan tidak dilibatkan dalam rekrutmen menteri-menteri baru.
Di mana pun di dunia, badan intelijen negara semestinya mampu bergerak diam-diam mengumpulkan informasi, tanpa diminta sekalipun. Prioritas badan tersebut ialah kepentingan dan keamanan nasional. Demikian pula yang termuat dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2011. Fungsi utama intelijen negara ialah deteksi dan peringatan dini terhadap berbagai bentuk ancaman keamanan nasional. Dengan berpegang pada asas kerahasiaan, integritas, netralitas, dan profesionalitas, BIN bertugas menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah.
Fungsi koordinasi intelijen juga tidak terlepas dari tanggung jawab BIN. Peristiwa teror bom yang dilakukan seorang remaja terhadap salah satu gereja di Medan, belum lama ini, menunjukkan lemahnya koordinasi tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan BIN kompak menyebut si remaja bekerja sendirian, tanpa ada yang memerintah. Pelaku tergerak oleh rasa simpati pada jaringan terorisme Islamic State (IS). Sebaliknya, pihak kepolisian meyakini ia dibayar untuk melakukan teror.
Perkara kewarganegaraan Arcandra dan teror bom Medan menunjukkan kerja BIN masih kurang optimal. Oleh karena itu, wajar bila tuntutan terhadap peningkatan kinerja dan efektivitas kerja BIN menguat. Dengan kompetensi yang dinilai mumpuni oleh Presiden ataupun DPR, Budi Gunawan diharapkan mampu mencegah intelijen kecolongan kembali di bawah kepemimpinannya. Jika Budi tidak bisa membuktikan janjinya kelak, Presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya untuk mengganti Kepala BIN dengan jenderal yang lebih mumpuni.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
