POLITIK mobilisasi massa untuk menekan sebuah keputusan sudah menjadi cara usang. Bahkan, dalam dosis tertentu, tekanan massa berpotensi menjadi noda bagi demokrasi jika dilakukan dengan cara-cara pemaksaan kehendak dan kekerasan. Ia mengubah demokrasi menjadi mobokrasi.
Meski dianggap usang, mobilisasi massa terus dilestarikan hingga kini. Aroma pemaksaan kehendak kental terasa dalam sejumlah unjuk rasa yang digelar belakangan ini. Kelompok pengunjuk rasa serasa berada di atas angin kala negara mengambil sikap kompromistis, bahkan ada kesan negara mengalah atau sengaja mengalah.
Kesan negara mengalah harus disetop. Harus tegas dikatakan bahwa negara tidak boleh tunduk, apalagi mengalah, atas politik mobilisasi massa. Meski demikian, pada sisi lain, negara tetap menjamin kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Untuk itulah dibuatkan regulasi yang harus dipatuhi terkait dengan demonstrasi. Regulasi mesti dipatuhi pengunjuk rasa, juga dipatuhi aparat penegak hukum sehingga terjaga ketertiban dan rasa nyaman.
Semakin demokratis sebuah bangsa, semakin tinggi pula tuntutan terhadap ketertiban dan rasa nyaman. Aparat penegak hukum mungkin saja mampu menghadirkan ketertiban saat berlangsung sebuah unjuk rasa. Akan tetapi, harus jujur diakui, rasa nyaman kian menjauh dari masyarakat saban kali ada demonstrasi dengan jumlah massa yang besar.
Masyarakat masih mengalami ketakutan akibat kerusuhan yang dipicu unjuk rasa. Apalagi, demonstrasi yang digelar tak lagi sekadar ekspresi kehendak yang tersumbat, tapi juga menjadi instrumen politik yang andal dan menggiurkan.
Disebut instrumen politik yang andal karena konten yang disuarakan itu mengada-ada. Misalnya, ada tuntutan pengunjuk rasa agar kepala kepolisian daerah dievaluasi dan dicopot dari jabatannya. Ada pula demonstrasi yang meminta seseorang dipenjara.
Dipenjara atau tidaknya seseorang menjadi otoritas pengadilan yang tidak boleh diintervensi kekuatan massa. Begitu juga soal pengangkatan dan pemberhentian seorang kepala kepolisian daerah sepenuhnya menjadi kewenangan Kapolri. Ada penilaian yang terukur terkait dengan kinerja, dedikasi, loyalitas, dan disiplin dari yang bersangkutan.
Kita ingatkan, jangan sampai negara mengambil keputusan hanya berdasarkan desakan atau tuntutan pengunjuk rasa. Sekali sebuah keputusan diambil berdasarkan tuntutan demonstran, akan muncul lagi unjuk rasa berikutnya. Jika itu yang terjadi, unjuk rasa akan terjadi terus-menerus dan lama-kelamaan bakal muncul industri demonstrasi.
Terus terang, kita menolak dan negara wajib mencegah bila demonstrasi menjadi tren untuk menekan. Tren seperti itu tak hanya menyulitkan, tapi juga menyudutkan pemerintah. Ketenteraman masyarakat juga turut terusik demonstrasi seperti itu.
Unjuk rasa untuk menekan menjadi tren karena negara seolah membiarkan tindakan sekelompok orang yang berkomplot melakukan kekerasan. Bahkan, dengan payung organisasi kemasyarakatan, kelompok itu mendapatkan tiket untuk memonopoli kebenaran dan sesuka hati menebar teror kekerasan fisik ataupun verbal.
Negara tidak boleh menjadi penonton kebrutalan fisik ataupun verbal di ruang publik. Hukum harus bertindak terhadap ormas yang doyan berunjuk rasa jika mereka melanggar ketertiban umum dan main hakim sendiri.
Hukum tidak boleh tunduk, apalagi mengalah, terhadap pendemo yang memaksakan kehendak sekalipun membawa-bawa atribut agama.
Kita tidak menginginkan pemerintahan yang lututnya lekas bergetar gara-gara tekanan massa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
