Penelitian terbaru membuktikan ikan mengalami rasa sakit yang intens hingga 10 menit setelah ditangkap. Hal ini menyoroti pentingnya memperhatikan kesejahteraan ikan, tidak hanya untuk alasan etika tetapi juga menjaga kualitas hasil tangkapan.
Temuan ini mendorong perlunya praktik lebih manusiawi dalam pengelolaan ikan. Dikutip dari laman earth.com, setiap tahun, lebih dari dua triliun ikan liar dan budidaya dibunuh untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia.
Kematian mereka seringkali tidak diperhatikan. Namun di balik permukaan, terdapat fakta biologis sederhana bahwa ikan dapat mengalami penderitaan.
Trout pelangi, salah satu spesies ikan yang banyak dibudidayakan dan dikonsumsi di seluruh dunia, mengalami penderitaan panjang dan menyakitkan saat dibunuh dengan cara asfiksia udara (kehabisan oksigen). Sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Scientific Reports mengungkap rasa sakit ini dan menawarkan solusi untuk menguranginya.
Perlu cara lebih baik mengukur rasa sakit pada ikan
Tidak seperti dampak lingkungan atau kesehatan masyarakat, penderitaan hewan belum memiliki ukuran metrik universal. Tidak ada alat yang setara dengan jejak karbon atau tahun kehidupan yang hilang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan mengembangkan Kerangka Jejak Kesejahteraan (Welfare Footprint Framework/WFF).Alat ini mengukur rasa sakit dalam hitungan menit, memungkinkan peneliti membandingkan kondisi kesejahteraan antara berbagai spesies. Metode ini diterapkan pada proses penjagalan trout, yang masih sering menggunakan teknik asfiksia udara.
Ketika ikan diangkat dari air, tubuh mereka mengalami stres besar. Insangnya runtuh, mereka akan megap-megap dalam kepanikan, dan keseimbangan kimia darahnya terganggu. Oksigen menurun sementara karbon dioksida meningkat.
Proses biologis ini terjadi sementara ikan terus bergerak, megap-megap, dan merasakan sakit, terkadang hingga 25 menit. Para peneliti membagi penderitaan trout menjadi empat tahapan waktu, dari kepanikan awal saat diangkat hingga penurunan aktivitas otak terakhir sebelum kehilangan kesadaran.
Melalui bukti perilaku, neurologis, dan farmakologis, diperkirakan rata-rata trout mengalami rasa sakit yang memenuhi kriteria menyakitkan, melumpuhkan, atau menyiksa selama sekitar 10 menit. Dalam beberapa kasus, waktu ini bisa lebih dari 20 menit. Jika dihitung berdasarkan berat, ini setara dengan 24 menit rasa sakit per kilogram ikan yang dibunuh.
Metode saat ini menyebabkan kematian yang menyakitkan
Asfiksia udara masih legal dan umum digunakan di banyak negara. Namun, metode ini tidaklah cepat atau bebas dari rasa sakit. Membekukan ikan di es atau menggunakan campuran air dan es mungkin terdengar lebih lembut, tetapi untuk spesies ikan seperti trout yang terbiasa dengan suhu dingin, metode ini justru hanya akan memperlambat metabolisme.Baca juga: Sound Horeg di Laut Bisa Bikin Ikan Bingung, Stres, hingga Gagal Bereproduksi |
Hal ini dapat memperpanjang waktu untuk kehilangan kesadaran dan meningkatkan penderitaan. Paparan es juga berisiko menyebabkan kerusakan jaringan, syok termal, dan ketakutan berkepanjangan.
Penelitian menunjukkan penderitaan tidak selalu dimulai pada saat penjagalan atau pemotongan. Seringkali dimulai jauh sebelumnya.
Kepadatan, transportasi, dan penanganan bersamaan menambah penderitaan ikan secara kumulatif. Faktor-faktor stres sebelum pemotongan ini dapat menyebabkan cedera fisik dan penderitaan berjam-jam. Namun, regulasi biasanya mengabaikan hal-hal tersebut.
Stunning dapat mengurangi penderitaan
Studi ini mengevaluasi dua jenis stunning (proses pemingsanan), yaitu: elektrik dan perkusif. Stunning elektrik, jika dilakukan dengan benar, dapat mengurangi penderitaan 60 hingga 1.200 menit per setiap dolar yang diinvestasikan. Hal ini menjadikannya salah satu intervensi kesejahteraan paling hemat biaya.Namun, penerapannya masih tidak konsisten. Di banyak tempat, stunning elektrik gagal membuat ikan tidak sadar secara efektif. Sementara itu, stunning perkusif (pukulan ke kepala), lebih konsisten di laboratorium, tetapi sulit diterapkan dalam skala besar.
Dampak bagi kebijakan dan konsumen
Meski proses penjagalan hanya berlangsung beberapa menit dalam hidup ikan, menit-menit ini bisa sangat menyakitkan. Penulis studi ini menyerukan investasi dalam alat stunning yang lebih baik dan pelatihan pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan ikan secara signifikan.“Welfare Footprint Framework menyediakan pendekatan berbasis bukti yang ketat dan transparan untuk mengukur kesejahteraan hewan, sekaligus memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tepat untuk alokasi sumber daya demi dampak yang maksimal,” ujar Dr. Wladimir Alonso dari Welfare Footprint Institute.
Yang membuat Kerangka Jejak Kesejahteraan (Welfare Footprint Framework) kuat adalah transparansinya. Alih-alih memberikan label tetap pada rasa sakit, kerangka ini bekerja dengan probabilitas. Jika ilmuwan percaya ada 40 persen kemungkinan rasa sakit itu melumpuhkan dan 40 persem kemungkinan rasa sakit itu menyiksa, kerangka ini memasukkan keduanya.
Hal ini membuat model ini fleksibel dan lebih mencerminkan ketidakpastian dunia nyata. Rasa sakit, seperti emosi, bervariasi antar individu. Beberapa ikan mungkin mengalami penderitaan lebih parah daripada yang lain, bahkan dalam kondisi yang sama.
Penelitian ini memberikan dasar ilmiah bagi pembuat kebijakan untuk mereformasi praktik lama. Bagi konsumen, penelitian ini memberikan cara baru untuk memahami makanan yang ada di piring mereka. (Alfi Loya Zirga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News