Pranoto menjelaskan, pembuatan pirolisis limbah dilatarbelakangi fakta banyaknya produksi sampah di Indonesia yang mencapai angka puluhan juta ton per tahun. Terlebih, adanya limbah medis covid-19 saat ini semakin menambah jumlah tersebut.
Guru Besar Bidang Kimia Lingkungan Air ini pun menjelaskan, alat itu dapat digunakan untuk melakukan pembakaran limbah atau sampah secara sempurna yang disebut dengan pirolisis. Yakni, pembakaran tanpa efek samping dan tanpa luaran gas padat maupun cair.
Adapun yang dapat dibakar melalui alat ini meliputi berbagai zat organik maupun anorganik dari limbah domestik, medis, dan lain-lain. Seperti daun-daunan, batang, kayu, dan bonggol jagung untuk zat organik. Sementara, untuk anorganik, contohnya berupa plastik, styrofoam, APD, masker, botol infus, dan limbah infeksius lainnya.
"Zat organik dan anorganik bisa dihancurkan di situ. Segala hal yang berbau medis bisa dibakar di situ. Jadi tidak mencemari lingkungan. Hanya karena sekarang penanganan Covid-19, saya konsentrasi pada limbah-limbah medis,” jelas Pranoto mengutip siaran pers UNS, Kamis, 1 April 2021.
Baca: Epidemiolog UGM Beberkan Kapan Indonesia Capai Herd Immunity
Berbahan baku stainless steel, pirolisis limbah diperuntukkan untuk lingkup Rumah Tangga (RT) terlebih dahulu. Akan tetapi, Pranoto dan tim dapat merancang dalam bentuk lebih besar bagi rumah sakit, Puskesmas, dan klinik yang memerlukan.
Ia berharap, dengan alat ini sampah yang dihasilkan mulai di lingkup RT dapat ditangani langsung dari sumbernya. Dengan begitu, tidak terbuang begitu saja ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Saat ini, kata dia, TPA di Solo juga sudah berusaha melakukan pembakaran dengan sistem pirolisis plasma untuk mengubah sampah menjadi listrik.
"Tapi Solo punya 300 ton per hari limbah domestik. Jika dari sumbernya sudah ditekan dengan pirolisis ini, berarti yang dibuang ke TPA sedikit. Bahan bakar pirolisis dengan LPG atau oli juga lebih murah," tambahnya.
Hasilkan Arang Hingga Minyak
Tidak berhenti pada penanganan sampah, pembakaran dengan alat ini juga mampu menghasilkan hal bermanfaat lainnya. Limbah atau sampah yang dibakar dapat berubah menjadi arang (briket), tir (aspal) cair, dan yang menarik adalah menjadi minyak.Pranoto menyampaikan, pembakaran 10 kilograsampah dapat menghasilkan 4 liter minyak, terutama dari sampah anorganik. Namun, minyak tersebut masih berupa bahan bakar biasa belum menjadi Bakan Bakar Minyak (BBM) seperti premium.
"Minimal sekarang untuk kompor bisa, karena belum kami teliti ke Bandung. Kemungkinan itu bisa menjadi BBM seperti premium. Kalau bisa masuk klasifikasi premium kan bagus," kata dia.
Baca: UI Rancang Aplikasi Deteksi Kegawatdaruratan Anak di Masa Pandemi
Rencananya, Pranoto mengatakan saat ini pihaknya tengah mulai melakukan pendekatan dengan Solo Technopark. Hal ini tidak terlepas dari perlunya dukungan dari Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) dalam produksi dan pemasaran alat.
Selain itu, Pranoto juga tengah mendaftarkan diri dalam program Hibah Matching Fund UNS. Ia pun berharap, setelah kegiatan kampus kembali ke sistem tatap muka, berbagai rencana dan proses terkait alat ini dapat berjalan secepatnya.
"Kalau itu bisa diaplikasikan, Alhamdulillah kita bisa menangani limbah yang ada. Terutama yang covid-19 dengan alat praktis, ramah lingkungan, tidak ada efek samping," papar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News