Mahasiswa penggagas SHASA, Muhammad Arif Billah mengatakan, SHASA ditujukan mendorong swasembada garam nasional berkelanjutan di Banyuwangi. Ia mengaku ingin membantu meningkatkan produksi petani garam menjadi lebih baik lagi.
Arif menuturkan, pandemi covid-19 telah memberikan banyak pengaruh di berbagai bidang, termasuk sektor industri garam. Apalagi, dengan adanya cuaca yang makin tak menentu saat ini menimbulkan lesunya harga garam, kondisi ini juga membuat para petani, khususnya di daerah Banyuwangi, kesulitan dalam proses produksi. Hal tersebut ditengarai menjadi penyebab pemerintah meningkatkan volume impor garam.
Arif tertarik untuk membuat sebuah sistem tambak yang dapat memproduksi garam secara otomatis tanpa terpengaruh oleh cuaca. Sistem tersebut yang akhirnya ia namai dengan sebutan SHASA.
"Yakni merupakan rumah garam yang berbentuk setengah lingkaran dan di bawahnya terdapat kolam garam dan lampu pemanas," papar Arif mengutip siaran pers ITS, Jumat, 26 Februari 2021.
Baca: Anosmia pada Pasien Covid-19, Ini Penjelasan Dokter RSA UGM
Mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil ITS ini menjelaskan lampu pemanas dalam alat dikontrol menggunakan arduino dan sensor yang berfungsi untuk memanaskan air laut yang masuk ke dalam rumah garam. Selain itu, SHASA dilengkapi dengan empat sensor lain, di antaranya adalah sensor cahaya, sensor hujan, sensor salinitas, serta sensor suhu dan kelembaban.
"Sensor-sensor tersebut memiliki peran penting dalam mendeteksi keadaan cuaca sekitar," ungkap mahasiswa yang aktif tergabung dalam Tim Penalaran ITS tersebut.
Arif mencontohkan, jika cuaca mulai mendung dan terjadi hujan, sistem pemanas dari SHASA akan bekerja, sehingga air tua atau air jenuh dari laut tetap dapat terproses. Meskipun sistem ini dinilai tidak ekonomis bagi para petani garam, namun sebenarnya pengeluarannya terhitung lebih murah jika dibandingkan dengan jumlah produksi garam yang dihasilkan.
"Untuk kolam berukuran 7×8 meter diprediksi mampu menghasilkan garam sebanyak 500 kilogram, dan jika harga garam berada di kisaran Rp500 per kilogram, maka untung yang dihasilkan bisa lebih banyak," terangnya.
Arif mengaku memilih Banyuwangi sebagai objek studi kasusnya karena cuaca dan iklim di Kota Gandrung tersebut cocok dijadikan lahan garam. Terlebih, kota tersebut juga identik dengan Kota Tuban yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Ia berharap ide ini mampu menjadi pilihan alternatif bagi petani dalam mengoptimalisasi produksi dan kualitas garam.
Baca: Peluang Minyak Atsiri Indonesia Sebagai Essential Oil Antiaging
Inovasi ini membawa Arif meraih medali perak dalam Online National Essay Competition yang diselenggarakan oleh Indonesian Young Scientist Association (IYSA) Sumatera, Januari lalu. Ide ini ditanggapi juri dengan respons positif.
"Selain itu, mereka menilai bahwa ide ini mampu memberikan kebermanfaatan jika terealisasikan dengan apik," ungkapnya.
Arif berharap ide tersebut tak hanya berupa gagasan, melainkan dapat direalisasikan ke kehidupan nyata. Selain itu, dirinya juga berharap agar ide cemerlangnya ini dapat dikembangkan dan dilirik oleh para stakeholder seperti pemerintah dan institusi lainnya.
"Semoga garam lokal dapat terus berkembang, sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News