Kepala tim riset, Ganden Supriyanto mengatakan banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa kadar asam sialat dalam serum penderita kanker umumnya lebih tinggi dari pada kadar asam sialat dalam serum orang normal. Kenaikan tersebut dijumpai pada berbagai jenis kanker.
"Antara lain melanoma ganas, kanker payudara, kanker ovarium, kanker mulut rahim, kanker saluran urogenital, kanker saluran pencernaan, kanker paru, kanker hati, kanker urea dan leukemia," tutur Ganden mengutip siaran pers UNAIR, Kamis, 5 Agustus 2021.
Ia menambahkan, dari beberapa penelitian terungkap pula kenaikan kadar asam sialat pada serum sejalan dengan tingkat keparahan kanker dan besarnya tumor. Kadar asam sialat yang tinggi pada serum penderita kanker dapat dimanfaatkan sebagai salah satu signal akan adanya kanker pada tubuh seseorang.
"Oleh karena itu asam sialat sangat potensial sebagai biomarker penyakit kanker. Biomarker penyakit degeneratif bisa dihasilkan di dalam tubuh pada serum darah, saliva, urin, dan gas buang nafas," paparnya.
Baca: Alternatif Styrofoam, Mahasiswa UGM Gagas Kemasan Makanan dari Rumput Laut
Ganden menerangkan bahwa reaksi nanopartikel perak-kitosan dengan asam sialat pada pH 6 menghasilkan puncak serapan pada panjang gelombang 563 nm (nanometer). Sensor fotometrik yang dikembangkan mampu mendeteksi asam sialat dalam rentang konsentrasi 0,007 sampai 0,57 miliMolar (mM) dengan limit deteksi 0,009 mM.
"Nilai akurasi dan presisi sensor berturut-turut adalah 93,35 hingga 101,47 persen dan 2,27 hingga 6,63 persen. Metode ini juga telah berhasil diujikan untuk analisis asam sialat dalam sampel serum darah dengan persen recovery adalah 98,84 – 105,2 persen," terangnya.
Ganden menuturkan bahwa grup riset juga mengembangkan deteksi dini diabetes dengan biomarker aseton dalam gas buang napas. Biomarker ikonik untuk diabetes umumnya adalah glukosa darah, metil glioksal dan HbA1c.
Beberapa hasil penelitian, ujarnya, mengungkapkan bahwa kadar aseton dalam gas buang napas penderita diabetes umumnya lebih tinggi yaitu sebesar (126±30) ppbv (bagian per miliar volume). Sedangkan, pada orang normal sebesar (28±4) ppbv. Selain itu, kenaikan kadar aseton dilaporkan berbanding lurus dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Baca: Mahasiswa UGM Ciptakan Syncrom, Sistem Pendeteksi Kerumunan
"Kadar aseton rata-rata dalam urin penderita diabetes sebesar 555,6 mg/L (miligram per liter) sedangkan kadar aseton rata-rata pada orang normal hanya 20 mg/dL (miligram per desiliter). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa aseton dapat digunakan sebagai biomarker dalam deteksi penyakit diabetes," terangnya.
Ganden menjelaskan bahwa reaksi nanopartikel perak-L-sistein dengan aseton pada pH 5 menghasilkan puncak serapan pada panjang gelombang 585 nm. Sensor fotometrik yang dikembangkan mampu mendeteksi aseton dalam rentang konsentrasi 0 sampai 8 mg/L dengan limit deteksi 0,6 mg/L. Nilai akurasi dan presisi sensor berturut-turut adalah 93,21 hingga 104,85 persen dan 2,74 hingga 3,82 persen.
Ganden mengungkapkan riset selanjutnya akan difokuskan ke jenis penyakit degeneratif yang lain dan juga dengan menggunakan jenis nanopartikel dan caping agent yang berbeda. Sensor yang sudah menunjukkan hasil yang menjanjikan, akan dilanjutkan untuk menghasilkan prototipe device sensor.
"Bisa berupa stik sensor dalam format lateral flow immunoassay maupun dalam bentuk sensor fotometrik sederhana yang pembacaannya secara digital," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News