Bidang pandang Abell 2744. Diperkirakan 50.000 sumber cahaya inframerah dekat terwakili dalam gambar ini. Foto: Science Alert/NASA, ESA, CSA, I. Labbe/Swinburne University of Technology, R. Bezanson/University of Pittsburgh, A. Pagan/STScI
Bidang pandang Abell 2744. Diperkirakan 50.000 sumber cahaya inframerah dekat terwakili dalam gambar ini. Foto: Science Alert/NASA, ESA, CSA, I. Labbe/Swinburne University of Technology, R. Bezanson/University of Pittsburgh, A. Pagan/STScI

Terungkap! Ini Cahaya Pertama yang Menerangi Alam Semesta dari Gelap Gulita

Renatha Swasty • 02 Juni 2025 17:46
Jakarta: Penelitian terbaru berhasil mengungkapkan rahasia alam semesta pada titik awal sejarahnya. Dengan bantuan sebuah teleskop canggih, ilmuwan akhirnya dapat mengetahui apa yang menerangi alam semesta di masa awal yang gelap dan hampa. 
 
Berdasarkan data dari Teleskop Hubble dan Teleskop Luar Angkasa James Webb, asal mula foton (partikel cahaya) yang terbang bebas di awal mula alam semesta adalah galaksi-galaksi jenis katai (kecil atau mini) yang bersinar dan membersihkan kabut hidrogen keruh yang memenuhi ruang antar galaksi. Penelitian ini telah dipublikasikan pada Februari 2024.
 
“Penemuan ini mengungkapkan peran penting yang dimainkan oleh galaksi ultra-redup dalam evolusi awal alam semesta,” kata astrofisikawan Iryna Chemerynska dari Institut Astrofisika Paris dikutip dari laman Science Alert.

"Galaksi-galaksi tersebut menghasilkan foton pengion yang mengubah hidrogen netral menjadi plasma terionisasi selama reionisasi kosmik. Hal ini menunjukkan pentingnya memahami galaksi-galaksi bermassa kecil dalam membentuk sejarah alam semesta."
 
Pada awal alam semesta, beberapa menit setelah dentuman besar (Big Bang), ruang angkasa dipenuhi kabut plasma terionisasi yang panas dan padat. Cahaya yang ada saat itu tidak dapat menembus kabut ini; foton hanya akan terpental dan bertebaran di antara elektron-elektron bebas yang mengambang dan membuat alam semesta gelap.
 
Saat alam semesta mendingin, sekitar 300.000 tahun kemudian, proton dan elektron mulai bersatu membentuk gas hidrogen netral (dan sedikit helium). Sebagian besar panjang gelombang cahaya dapat menembus medium netral ini, tetapi saat itu hampir tidak ada sumber cahaya. Namun, dari hidrogen dan helium tersebut, bintang-bintang pertama mulai terbentuk.
 
Bintang-bintang pertama ini memancarkan radiasi cukup kuat untuk melepaskan elektron dari intinya dan mengionisasi gas tersebut. Pada saat itu juga, alam semesta sudah mengembang sehingga gasnya menjadi sangat tipis dan tersebar dan cahaya tidak lagi terhalang untuk bersinar.
 
Sekitar 1 miliar tahun setelah Big Bang, pada akhir periode yang dikenal sebagai "fajar kosmik," alam semesta sepenuhnya terionisasi. Cahaya pun menyala sepenuhnya.
 
Namun, karena masa fajar kosmik ini penuh kabut, redup, dan berada sangat jauh dalam ruang dan waktu, para ilmuwan mengalami kesulitan untuk melihat apa yang ada di sana.
 
Para ilmuwan menduga sumber utama yang membersihkan kabut adalah objek-objek yang sangat kuat, seperti lubang hitam raksasa yang menghasilkan cahaya terang atau galaksi besar yang sedang membentuk bintang baru (bintang-bintang muda menghasilkan banyak cahaya UV).
 
Baca juga: Studi Baru: Teori Einstein 'Memori Gravitasi' Kemungkinan Nyata 

Untuk itu, James Webb Space Telescope (JWST) dirancang untuk meneliti masa fajar kosmik dan mencoba melihat apa yang tersembunyi di dalamnya. Hasilnya cukup menarik: pengamatan teleskop ini menunjukkan galaksi katai yang kecil ini memainkan peran kunci dalam reionisasi.
 
Sebuah tim internasional yang dipimpin oleh astrofisikawan Hakim Atek dari Institut Astrofisika Paris menggunakan data JWST untuk mengamati gugus galaksi bernama Abell 2744, yang didukung data dari Hubble.
 
Abell 2744 begitu padat sehingga ruang-waktunya melengkung, membentuk lensa kosmik; cahaya dari objek jauh yang melewati ruang-waktu ini menjadi diperbesar. Dengan cara ini, peneliti dapat melihat galaksi-galaksi kerdil kecil yang dekat dengan masa fajar kosmik.
 
JWST digunakan untuk mendapatkan spektrum detail dari galaksi-galaksi kecil tersebut. Analisis menunjukkan galaksi katai ini bukan hanya jenis galaksi yang paling banyak ditemukan di awal alam semesta, tetapi juga jauh lebih terang dari yang diduga.
 
Bahkan, penelitian tim menunjukkan galaksi katai jumlahnya 100 kali lebih banyak ketimbang galaksi besar dan pancaran radiasi pengionnya empat kali lebih besar ketimbang asumsi radiasi dari galaksi besar.
 
“Meskipun ukurannya kecil, galaksi-galaksi bermassa rendah ini merupakan penghasil radiasi energetik yang produktif dan jumlah mereka di masa ini begitu banyak sehingga pengaruh kolektifnya mampu mengubah keadaan seluruh alam semesta,” kata Atek.
 
Ini merupakan bukti terbaik untuk mengetahui kekuatan di balik reionisasi, tetapi masih banyak hal yang perlu diteliti. Peneliti baru mengamati sebagian kecil langit; mereka perlu memastikan sampel mereka bukan sekadar kumpulan galaksi kerdil yang tidak biasa, melainkan representasi populasi galaksi di seluruh fajar kosmik.
 
Para peneliti berencana mempelajari lebih banyak wilayah lensa kosmik di langit untuk mendapatkan sampel lebih luas dari populasi galaksi awal. Tetapi, dari sampel yang satu ini saja, hasilnya sudah sangat menarik. Ilmuwan telah lama mencari jawaban tentang reionisasi dan kini kita hampir sepenuhnya memahami misteri tersebut.
 
"Penelitian ini membuka pertanyaan-pertanyaan yang lebih menarik yang harus kita jawab dalam upaya kita untuk memetakan sejarah evolusi awal mula kehidupan." kata astrofisikawan Themiya Nanayakkara dari Universitas Teknologi Swinburne di Australia. (Alfi Loya Zirga)
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan