Ini mendorong sisa magma ke atas, menambah tekanan pada penutup ruang itu. Sebuah letusan terjadi saat tutupnya tidak lagi mampu menahan tekanan. Hal ini juga terjadi dalam sebuah siklus, sehingga dapat diprediksi.
"Yang berat tenggelam dan yang ringan ke atas maka akan terjadi erupsi karena ada tekanan gas ke atas," ungkapnya.
Faktor yang kedua ini, kata dia, juga sifatnya siklus yang bisa diprediksi. Tetapi, ada proses yang di dalam dapur magma ini yang sifatnya tidak siklus, tiba-tiba keluar dari polanya.
"Nah ini biasanya terjadi ketika dapur magmanya ambruk. Sehingga diibaratkan seperti ember yang sudah penuh kemudian dimasukkan batu ke dalamnya maka airnya pun akan keluar dan ini sulit diprediksi,” terangnya.
Baca:
Peneliti Unpad Khawatir Gunung Manglayang Erupsi Seperti Sinabung
Faktor terakhir adalah kondisi di atas permukaan gunung. Salah satunya, perubahan pasang-surut ketika gerhana bulan dan gerhana matahari terjadi.
Pada kasus ini, gunung-gunung api yang berada di tengah laut relatif lebih sensitif karena permukaan air yang naik akan menambah tekanan terhadap gunung api yang berada di tengah laut. Sehingga, apabila gunung apinya berada pada titik kritis maka dia akan cenderung 'batuk-batuk'. Misalnya Krakatau, Gamalama, Banda Api, dan lain-lain.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi meletusnya gunung api adalah berkaitan dengan pelelehan es pada gunung-gunung api yang berada di negara empat musim atau di wilayah kutub. Mirzam mencontohkan Gunung Eyjafjallajökull yang ada di Islandia.