Hal itu terungkap dalam penelitian mahasiswa IPB University yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Penelitian mealui wawancara mendalam kepada sejumlah responden laki-laki berusia 22-27 tahun yang mayoritas responden merupakan lulusan Sarjana dengan penghasilan antara Rp2.000.000 hingga Rp5.000.000 per bulan.
Secara sosial, mereka hidup di tengah tekanan ekonomi kota besar, kebutuhan konsumtif meningkat, harga kebutuhan naik, sementara pendapatan belum cukup stabil.
“Sebagian responden menyatakan bahwa judol menjadi ‘jalan pintas’ untuk memenuhi gaya hidup digital. Bukan semata karena keinginan berjudi, tetapi karena keinginan untuk bertahan di lingkungan yang serba cepat dan kompetitif,” papar perwakilan tim, Zyahwa Aprilia, melalui keterangan tertulis, Jumat, 17 Oktober 2025.
Fenomena ini memperlihatkan kontradiksi. Satu sisi, mereka paham risiko digital dan telah menempuh pendidikan tinggi. Namun di sisi lain, tekanan ekonomi dan lingkungan sosial membuat mereka rentan terhadap jebakan platform daring yang menjanjikan keuntungan instan.
Penelitian ini juga menemukan pengaruh kuat budaya digital dalam normalisasi perilaku berjudi di kalangan gen Z. Iklan judol muncul di media sosial, game, bahkan grup pertemanan.
Baca Juga :
Biar Aman! 5 Tips Cegah Anak Main Judi Online
“Bagi mereka, judi digital bukan lagi aktivitas ‘gelap’, tetapi sekadar bagian dari hiburan daring. Main game sambil dapat uang, katanya. Kondisi ini menunjukkan bahwa literasi digital yang tinggi tidak otomatis berbanding lurus dengan literasi moral atau finansial. Akses internet justru membuka ruang bagi perilaku berisiko yang sebelumnya sulit dijangkau,” papar Zyahwa.
Dia mengatakan fakta mayoritas lulusan sarjana menegaskan pendidikan formal belum cukup membentuk imunitas terhadap adiksi digital. Meski memiliki kemampuan berpikir kritis, dorongan sosial-ekonomi dan budaya kompetitif di media sosial mendorong mereka untuk mencari penghasilan cepat, bahkan lewat cara berisiko.
Zyahwa menyebut kesenjangan antara kemampuan digital dan pemahaman etika digital ini menjadi titik lemah utama generasi Z. “Mereka melek teknologi, tapi belum tentu siap menghadapi kompleksitas dunia digital yang memanipulasi psikologi dan ekonomi personal,” kata dia.
Temuan ini memperlihatkan wajah nyata “paradoks digitalisasi”. Teknologi yang diharapkan memperluas akses dan peluang justru menciptakan jebakan baru bagi mereka yang belum siap secara ekonomi dan kultural.
“Temuan ini menjadi cerminan dari banyak wilayah urban di Indonesia, cerdas, terkoneksi, tetapi rapuh di tengah derasnya arus digital. Judol hanyalah satu dari sekian banyak bentuk Specific Problematic Internet Use (SPIU), perilaku bermasalah akibat penggunaan internet yang berlebihan,” ungkap Zyahwa.
Melihat fenomena ini, Zyahwa dan tim mendorong agar kebijakan publik tidak berhenti pada pemblokiran situs. Lebih dari itu, diperlukan pendekatan sosial dan kultural yang lebih mendalam dari edukasi finansial di kampus hingga literasi etika digital di sekolah.
“Penelitian ini membuktikan bahwa angka-angka tidak berdiri sendiri. Di balik statistik, ada wajah-wajah muda yang berjuang antara realitas ekonomi dan dunia digital yang menggoda. Gen Z tidak butuh sekadar peringatan, tapi ruang aman untuk memahami dan mengelola perilaku digital mereka. Jika tidak, paradoks digitalisasi akan terus berulang, melahirkan generasi yang pintar secara teknologi, tapi kalah oleh algoritma," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id